Jateng Bangun 3 Kawasan Industri Baru Tahun 2020
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memacu pengembangan tiga kawasan industri (KI) baru pada 2020 dengan luas total 5.705,73 ha. Ketiganya berlokasi di Brebes, Kebumen, dan Rembang.
Berdasarkan paparan kinerja Pemprov Jateng 2019, ada tiga KI baru yang memasuki tahap feasibility study (FS) atau studi kelayakan. Ketiga KI tersebut adalah KI Brebes dengan luas 3.977 ha, KI Rembang seluas 1.054 ha, dan KI Kebumen seluas 674.73 ha.
“Pengembangan ketiga KI tersebut menjadi salah satu prioritas 2020. Proyek ini bekerja sama dengan pemerintah pusat dan swasta,” tutur Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Jumat (27/12/2019).
Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo, KI Brebes merupakan proyek super prioritas di Jateng untuk memacu perekonomian, di samping Kawasan Candi Borobudur, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal.
Pada penghujung tahun ini, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Brebes periode 2019-2039 sudah ditetapkan. Adanya regulasi tersebut diharapkan mendukung pengembangan KI Brebes.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://www.solopos.com/jateng-bangun-3-kawasan-industri-baru-tahun-2020-1038770
Supply Chain Management (SCM) adalah serangkaian kegiatan yang meliputi koordinasi, penjadwalan, dan pengendalian terhadap pengadaan, produksi, persediaan dan pengiriman produk ataupun layanan jasa kepada pelanggan yang mencakup administrasi harian, operasi , logistik dan pengolahan informasi mulai dari customer hingga supplier.
Sunday, December 29, 2019
3 Kawasan Industri Baru di Jateng
Monday, December 23, 2019
Kendal Jadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus)
Resmi, Kendal Jadi KEK Baru di Jawa Tengah
Pemerintah resmi menjadikan Kendal, Jawa Tengah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru. Pembentukan KEK Kendal itu sebelumnya diusulkan oleh PT Kawasan Industri Kendal dan telah mendapatkan persetujuan dari Bupati Kendal. Selanjutnya, usulan tersebut diajukan kepada Gubernur Jawa Tengah dan diteruskan kepada Dewan Nasional KEK.
Hasilnya, pemerintah kini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2019 tentang KEK Kendal yang telah diundangkan sejak 18 Desember lalu. Dalam PP tersebut, pemerintah berargumen bahwa Kendal perlu dikembangkan sebagai KEK dalam rangka menunjang percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional.
Kendal dinilai memiliki keunggulan geoekonomi karena kawasan tersebut terletak berdekatan dengan Bandara Ahmad Yani, Pelabuhan Tanjung Emas, dan dilewati Tol Trans Jawa, Jalur Pantura, serta Jalur Kereta Api Ganda Jakarta-Semarang-Surabaya.
Dalam pasal 2, juga dijelaskan bahwa KEK Kendal akan terletak di atas lahan seluas 1.000 hektar yang terletak di Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Brangsong, Kab. Kendal. KEK Kendal bakal terbagi dalam 3 zona yang menjalankan 3 fungsi. Zona-zona yang dimaksud antara lain zona pengolahan ekspor, zona logistik, dan zona industri.
Dalam PP, disebutkan bahwa secara geostrategis Kendal memiliki keunggulan yakni terdapat industri berorientasi ekspor, substitusi impor, produk berteknologi tinggi, dan berbasis aplikasi yang mendukung industri 4.0.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://bisnis.tempo.co/read/1286663/resmi-kendal-jadi-kek-baru-di-jawa-tengah/full&view=ok
Pemerintah resmi menjadikan Kendal, Jawa Tengah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru. Pembentukan KEK Kendal itu sebelumnya diusulkan oleh PT Kawasan Industri Kendal dan telah mendapatkan persetujuan dari Bupati Kendal. Selanjutnya, usulan tersebut diajukan kepada Gubernur Jawa Tengah dan diteruskan kepada Dewan Nasional KEK.
Hasilnya, pemerintah kini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2019 tentang KEK Kendal yang telah diundangkan sejak 18 Desember lalu. Dalam PP tersebut, pemerintah berargumen bahwa Kendal perlu dikembangkan sebagai KEK dalam rangka menunjang percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional.
Kendal dinilai memiliki keunggulan geoekonomi karena kawasan tersebut terletak berdekatan dengan Bandara Ahmad Yani, Pelabuhan Tanjung Emas, dan dilewati Tol Trans Jawa, Jalur Pantura, serta Jalur Kereta Api Ganda Jakarta-Semarang-Surabaya.
Dalam pasal 2, juga dijelaskan bahwa KEK Kendal akan terletak di atas lahan seluas 1.000 hektar yang terletak di Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Brangsong, Kab. Kendal. KEK Kendal bakal terbagi dalam 3 zona yang menjalankan 3 fungsi. Zona-zona yang dimaksud antara lain zona pengolahan ekspor, zona logistik, dan zona industri.
Dalam PP, disebutkan bahwa secara geostrategis Kendal memiliki keunggulan yakni terdapat industri berorientasi ekspor, substitusi impor, produk berteknologi tinggi, dan berbasis aplikasi yang mendukung industri 4.0.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://bisnis.tempo.co/read/1286663/resmi-kendal-jadi-kek-baru-di-jawa-tengah/full&view=ok
UMKM Butuh Dukungan Sistem Logistik Kuat
Karakteristik para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengakibatkan kebutuhan dukungan sistem logistik yang kuat untuk peningkatan daya saing dan produktivitasnya.
Karakteristik UMKM terutama terkait dengan volume produksi dan penjualan setiap pelaku yang kecil karena tersebar di banyak pelaku, kata Setijadi ,Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), Minggu (22/12/2019).
Selain itu, tambahnya, para pelaku UMKM juga terkendala kemampuan modal dan manajemennya, sehingga tidak mampu mengembangkan sistem logistiknya sendiri.
Setijadi, mengatakan dukungan sistem logistik dibutuhkan oleh para pelaku UMKM untuk meningkatkan efisiensi aliran bahan dan barang, informasi, dan uang yang akan berdampak pula terhadap produktivitasnya.
Dalam pengadaan bahan baku, misalnya, dibutuhkan sistem logistik untuk mengkonsolidasikan proses pembelian dari para pelaku yang setiap volumenya relatif kecil sehingga berbiaya mahal.
Dengan konsolidasi, volume pengadaan menjadi tinggi sehingga harga lebih murah karena ada diskon pembelian dan pengiriman bahan baku.
Efisiensi dan produktivitas juga akan dicapai dengan sistem logistik yang baik dalam proses penyimpanan dan pengelolaan bahan baku hingga pengemasan dan pengiriman produk.
Pemerintah perlu memfasilitasi pembentukan logistics center di sentra-sentra UMKM. Logistics center itu sebaiknya melibatkan para pihak terkait, termasuk instansi pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat.
Sumber dan berita selengkapnya:
http://beritatrans.com/2019/12/22/umkm-butuh-dukungan-sistem-logistik-yang-kuat/
Karakteristik UMKM terutama terkait dengan volume produksi dan penjualan setiap pelaku yang kecil karena tersebar di banyak pelaku, kata Setijadi ,Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), Minggu (22/12/2019).
Selain itu, tambahnya, para pelaku UMKM juga terkendala kemampuan modal dan manajemennya, sehingga tidak mampu mengembangkan sistem logistiknya sendiri.
Setijadi, mengatakan dukungan sistem logistik dibutuhkan oleh para pelaku UMKM untuk meningkatkan efisiensi aliran bahan dan barang, informasi, dan uang yang akan berdampak pula terhadap produktivitasnya.
Dalam pengadaan bahan baku, misalnya, dibutuhkan sistem logistik untuk mengkonsolidasikan proses pembelian dari para pelaku yang setiap volumenya relatif kecil sehingga berbiaya mahal.
Dengan konsolidasi, volume pengadaan menjadi tinggi sehingga harga lebih murah karena ada diskon pembelian dan pengiriman bahan baku.
Efisiensi dan produktivitas juga akan dicapai dengan sistem logistik yang baik dalam proses penyimpanan dan pengelolaan bahan baku hingga pengemasan dan pengiriman produk.
Pemerintah perlu memfasilitasi pembentukan logistics center di sentra-sentra UMKM. Logistics center itu sebaiknya melibatkan para pihak terkait, termasuk instansi pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat.
Sumber dan berita selengkapnya:
http://beritatrans.com/2019/12/22/umkm-butuh-dukungan-sistem-logistik-yang-kuat/
Thursday, December 19, 2019
Pemerintah Dorong Ekspor UKM Melalui Pusat Logistik Berikat
Wilda Fajriah, Jurnalis ·
Kamis 19 Desember 2019 19:36 WIB
JAKARTA - Sebagai tindak lanjut lima prioritas Presiden Republik Indonesia yang salah satunya adalah mendorong daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa serta dalam rangka mengoptimalkan pemasaran produk koperasi dan UKM.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Bea Cukai, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kementerian Perdagangan, bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Sarinah, Koperasi NU Circle Nusantara, Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (LLP-KUKM) Smesco, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), dan PT Ewwon Indonesia meresmikan ekspor perdana produk UKM melalui pusat logistik berikat (PLB) e- commerce tujuan ekspor PT Uniair Indotama Cargo pada Kamis (19/12/2019) di Kawasan Industri dan Pergudangan Marunda Center.
PLB PT Uniair Indotama Cargo merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan izin penyelenggaraan PLB E-commerce Tujuan Ekspor dari Bea Cukai pada 28 Maret 2019 lalu dalam rangka mendorong ekspor produk-produk UKM di Indonesia.
Terbukti pada kesempatan ini, sebagai langkah nyata pengembangan sinergi dan kemitraan antara pelaku usaha dengan pemerintah, pelaku usaha besar dengan pelaku usaha kecil dan menengah, peningkatan daya saing produk lokal, dan peningkatan pemasaran produk dengan jangkauan global, PLB PT Uniair Indotama Cargo melakukan ekspor perdana berupa 45.530 pcs komoditi makanan dan kerajinan tangan lokal yang berasal dari 17 IKM di Jakarta dan Nusa Tenggara Timur.
Ekspor perdana ini antara lain terdiri dari PNM, Kementerian Perindustrian, Bpillow, Breakday, Erha, Gossa, Humbang, Jchil, Sumber Agung Rejeki, Meybi NTT, Archee, Puff, Old Captain, Rumah Rempah, Ussy Craft, Zoneindo, dan Kapal Api. Ekspor yang dilakukan diperkirakan akan tiba di Ningbo, China pada 10 Januari 2020.
Dalam kegiatan ini, produk IKM tersebut tidak hanya didorong dalam ekspornya tetapi juga akan dibantu untuk dipasarkan melalui marketplace di China yaitu Taobao dan Kaola pada Februari 2020.
Kehadiran PLB e-commerce ekspor merupakan bagian dari PLB generasi II. Keunggulan keberadaan PLB e-commerce ekspor sebagai penyaluran/kanalisasi adalah adanya kewajiban menyediakan alokasi tempat dan/atau pengusahaan untuk IKM/UKM paling banyak 15% dari total luas penyelenggaraan PLB serta kewajiban menampilkan barang-barang tersebut pada platform e-commerce, yang tentunya hal ini sangat membantu IKM/UKM dalam mempromosikan produknya.
PLB e-commerce ekspor akan memberikan dampak positif bagi perdagangan di Indonesia antara lain database yang akurat, media promosi IKM/UKM, dan membantu IKM/UKM dengan mengkonsolidasikan barang yang akan diekspor.
Hingga akhir 2019, jumlah PLB di Indonesia telah mencapai 112 perusahaan di 166 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Keberadaan PLB ini adalah untuk meningkatkan efisiensi sistem logistik di Indonesia, terutama untuk mendukung supply chain bahan baku kebutuhan industri serta memberikan kemudahan prosedural untuk ekspor, antara lain konsolidasi ekspor, ekspor parsial, dan fleksibilitas negara tujuan pengiriman barang ekspor. Dengan adanya efisiensi sistem logistik di Indonesia, maka pergerakan barang akan menjadi lebih cepat dan tepat. PLB ke depannya akan menjadi basis ekspor bagi produk-produk IKM/UKM Indonesia.
Dalam rangka menjalankan fungsi trade facilitator dan industrial assistance, Bea Cukai dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dan fasilitas kepabeanan yang tepat kepada pelaku usaha impor dan ekspor. Dinamika model proses bisnis perdagangan internasional yang terus berkembang, menuntut pemerintah khususnya Kementerian/Lembaga yang terkait dengan ekspor dan impor untuk terus berinovasi, menciptakan skema kebijakan yang dapat memberikan daya tarik bagi investor.
Sumber :
https://megapolitan.okezone.com/read/2019/12/19/338/2143978/pemerintah-dorong-ekspor-ukm-melalui-pusat-logistik-berikat
Kamis 19 Desember 2019 19:36 WIB
JAKARTA - Sebagai tindak lanjut lima prioritas Presiden Republik Indonesia yang salah satunya adalah mendorong daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa serta dalam rangka mengoptimalkan pemasaran produk koperasi dan UKM.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Bea Cukai, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kementerian Perdagangan, bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Sarinah, Koperasi NU Circle Nusantara, Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (LLP-KUKM) Smesco, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), dan PT Ewwon Indonesia meresmikan ekspor perdana produk UKM melalui pusat logistik berikat (PLB) e- commerce tujuan ekspor PT Uniair Indotama Cargo pada Kamis (19/12/2019) di Kawasan Industri dan Pergudangan Marunda Center.
PLB PT Uniair Indotama Cargo merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan izin penyelenggaraan PLB E-commerce Tujuan Ekspor dari Bea Cukai pada 28 Maret 2019 lalu dalam rangka mendorong ekspor produk-produk UKM di Indonesia.
Terbukti pada kesempatan ini, sebagai langkah nyata pengembangan sinergi dan kemitraan antara pelaku usaha dengan pemerintah, pelaku usaha besar dengan pelaku usaha kecil dan menengah, peningkatan daya saing produk lokal, dan peningkatan pemasaran produk dengan jangkauan global, PLB PT Uniair Indotama Cargo melakukan ekspor perdana berupa 45.530 pcs komoditi makanan dan kerajinan tangan lokal yang berasal dari 17 IKM di Jakarta dan Nusa Tenggara Timur.
Ekspor perdana ini antara lain terdiri dari PNM, Kementerian Perindustrian, Bpillow, Breakday, Erha, Gossa, Humbang, Jchil, Sumber Agung Rejeki, Meybi NTT, Archee, Puff, Old Captain, Rumah Rempah, Ussy Craft, Zoneindo, dan Kapal Api. Ekspor yang dilakukan diperkirakan akan tiba di Ningbo, China pada 10 Januari 2020.
Dalam kegiatan ini, produk IKM tersebut tidak hanya didorong dalam ekspornya tetapi juga akan dibantu untuk dipasarkan melalui marketplace di China yaitu Taobao dan Kaola pada Februari 2020.
Kehadiran PLB e-commerce ekspor merupakan bagian dari PLB generasi II. Keunggulan keberadaan PLB e-commerce ekspor sebagai penyaluran/kanalisasi adalah adanya kewajiban menyediakan alokasi tempat dan/atau pengusahaan untuk IKM/UKM paling banyak 15% dari total luas penyelenggaraan PLB serta kewajiban menampilkan barang-barang tersebut pada platform e-commerce, yang tentunya hal ini sangat membantu IKM/UKM dalam mempromosikan produknya.
PLB e-commerce ekspor akan memberikan dampak positif bagi perdagangan di Indonesia antara lain database yang akurat, media promosi IKM/UKM, dan membantu IKM/UKM dengan mengkonsolidasikan barang yang akan diekspor.
Hingga akhir 2019, jumlah PLB di Indonesia telah mencapai 112 perusahaan di 166 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Keberadaan PLB ini adalah untuk meningkatkan efisiensi sistem logistik di Indonesia, terutama untuk mendukung supply chain bahan baku kebutuhan industri serta memberikan kemudahan prosedural untuk ekspor, antara lain konsolidasi ekspor, ekspor parsial, dan fleksibilitas negara tujuan pengiriman barang ekspor. Dengan adanya efisiensi sistem logistik di Indonesia, maka pergerakan barang akan menjadi lebih cepat dan tepat. PLB ke depannya akan menjadi basis ekspor bagi produk-produk IKM/UKM Indonesia.
Dalam rangka menjalankan fungsi trade facilitator dan industrial assistance, Bea Cukai dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dan fasilitas kepabeanan yang tepat kepada pelaku usaha impor dan ekspor. Dinamika model proses bisnis perdagangan internasional yang terus berkembang, menuntut pemerintah khususnya Kementerian/Lembaga yang terkait dengan ekspor dan impor untuk terus berinovasi, menciptakan skema kebijakan yang dapat memberikan daya tarik bagi investor.
Sumber :
https://megapolitan.okezone.com/read/2019/12/19/338/2143978/pemerintah-dorong-ekspor-ukm-melalui-pusat-logistik-berikat
Wednesday, December 18, 2019
Introduction to Supply Chain Management
Logistics and Supply Chain Management
BY GARY MARION Updated April 23, 2018If your company sells a thing to a customer, your company most likely has a supply chain. And that supply chain impacts almost every other business function.
How can Sales sell without Supply Chain supplying products?
How can Finance calculate the cost of goods (and your profitability) without Supply Chain managing supplier and manufacturing costs?
How can Research and Development research and develop new products without Supply Chain sourcing new components?
I could go on and on.
But what are supply chain and supply chain management? Supply chain management isn't just the management of products — it's also the management of information, time and money.
Let's start at the far end of the chain and work our way forward, shall we?
Tier II Suppliers
Supply chain management doesn't start when you order a product from your suppliers. You should be managing your product supply when your suppliers are sourcing their suppliers. That's called Tier II supplier management.
If your suppliers aren't practicing supply chain management with its suppliers, your own supply chain performance will suffer. That's why so many in the supply chain management field practice Tier II supplier management.
How can you influence your Tier II suppliers?
The answer takes us back to what supply chain management is. It's the management of product flow, information, time and money. And for Tier II supplier management, "information" is one of the key performance drivers.
The information your Tier II suppliers need is the demand information that you've provided to your suppliers — whether that's forecasts are firm orders.
Your Tier II suppliers can use that information to do its own capacity planning and raw materials buys (i.e. practice its own supply chain management).
By ensuring your Tier II suppliers have what they need in order to deliver on-time and cost effectively to your suppliers, you are on your way to optimizing your supply chain.
Supplier Management
Supplier management is what most people perceive supply chain management to mean. And, truly, this is where a lot of supply chain managers spend their time.
The arena of supplier management includes the cost of goods negotiations, on-time delivery management, quality audits and management, new product development — to name a few areas of focus.
Your supply chain team will work with your suppliers' customer service teams, engineering teams, quality teams and even supply chain teams.
Just like your customers probably measure your performance, it's important that you and your suppliers work together to determine the right metrics to measure their performance. On-time delivery is the most common metric that's measured, but make sure that you and your suppliers understand the precise definition of on-time delivery that you'll be measuring.
On-time delivery isn't has black-and-white as some might think. There are original promised delivery dates that can (and often) change during an order's lifetime. So are you measuring on-time delivery performance against the original promise date or subsequent revised promise dates? Make sure you and your suppliers are aligned.
Also, are you measuring the dock date or the ship date? Oftentimes that will depend on the payment terms you've negotiated with your supplier. If your payment terms are FOB Plant, for instance, that means you're responsible for the shipping method once the product leaves your supplier's plant.
In that case, your on-time delivery metric would likely be based on the ship date.
However, if your payment terms are CIF, i.e. your supplier pays for the cost, insurance and freight to deliver it to you — then your on-time metrics would likely be based on date the shipment arrives at your dock.
Logistics
Logistics and supply chain aren't the same things. Logistics is the management of the movement of goods whereas supply chain management covers the many other areas we're discussing here.
But logistics is a part of supply chain and that means whoever manages your supply chain will be responsible for managing freight forwarders, shipping companies, parcel delivery companies (like Fedex and UPS), customs brokers and third party logistics providers (3PL).
Logistics providers should be managed in the same way that you manage your suppliers. Costs and contracts can be negotiated. You can source freight forwarders the same way you would source suppliers of the products you need.
Shipping and warehousing costs can be one of the largest expenses in your supply chain and its critical that your logistics providers are measured and managed to control those costs.
Inventory
And speaking of one of the largest expenses in your supply chain, we now come to inventory. The difference between paying for logistics and paying for inventory is that when you incur the expense for logistics — you've received that benefit. A logistics provider ships something to you and you pay them. You've incurred the expense for a service rendered.
But inventory is a double-edged sword. Often, you'll pay your suppliers for your inventory and you'll have the product you just paid for — but you haven't received the benefit of that product. That benefit comes when you sell it.
And that's where the inventory management aspect of supply chain management becomes critical.
The supply chain management conundrum: You need product to sell to your customers but you won't have those products until you incur the expense of acquiring that product.
You need to have enough inventory on hand to supply your customers what they want, when they want it — but you can't have too much inventory on hand or you will have paid (possibly) too much money out of pocket.
There's the added risk that you can build too much inventory. Because your suppliers might have minimum order quantities (MOQ) or because you thought you would sell more than you did or because something changed in the marketplace — you might end up paying for inventory that you can never sell.
Let's say you sell cases for smartphones. And, not long ago, you acquired 100,000 pc of an iPhone 5 case that you planned to sell to Apple, Verizon and the other iPhone accessory retailers. And after you sold 10,000 of them, Apple launched the iPhone 6. And suddenly there was no market for your iPhone 5 cases. Too much inventory. Money you spent that will never be recouped.
Inventory is a terrible balancing act. You need enough, but not too much,— and you have to make the decision on how much to acquire based on unreliable information. Leave it to the supply chain management professionals.
Purchasing
The other guy: "Hi, welcome to the company. What do you do?"
Me: "I'm our new supply chain director."
The other guy: "Oh, you're the purchasing guy."
I didn't respond. The other guy walked off.
Although it's common to believe that supply chain is purchasing, that's not accurate. Purchasing is a part of supply chain management, but it's not the totality of all that supply chain management is (see Logistics, above). It's like saying that American football is sports. While American football is a subset of all sports, sports is so much more.
I use the football analogy because purchasing is a lot of blocking and tackling. While some purchasing teams are giving sourcing and negotiating responsibility, most of what a purchasing team does is transactional.
Issuing an RFQ, choosing the lowest priced supplier and cutting a purchase order does not constitute strategic supply chain management — although it's important for the day-to-day operations of your company.
By the way, I didn't respond to the other guy when he said, "Oh, you're the purchasing guy" because my explanation of why supply chain isn't just purchasing could fill several internets.
Buyers and purchasing managers can grow into supply chain professionals, but it takes an understanding that the transactional activity of purchasing is only a small slice of what supply chain management is.
Customer Service
In some companies, customer service isn't considered part of supply chain. However, if you look at the scope of supply chain management's definition in the toilet paper industry — "From stump to rump" — you can see that the supply chain isn't complete until your product reaches the end user (pun intended).
The "stump" in toilet paper manufacturing's supply chain represents Tier II suppliers — i.e. the trees that make the pulp that make the paper. And the "rump" — well, you get it. And while your supply chain may not reach all the way to a consumer, it should include what it takes to deliver product out your door and to your customer's dock.
Customer service functions as the voice of the customer at your company. What shipping method does your customer want? What size boxes do you need to pack your product in and how many units per pack? Those answers can be driven by your customer, especially if your customer is a big box retailer.
There is not better team positioned to drive your company to deliver what your customers want, when your customers want it — than your customer service team. And since on-time delivery — both inbound and outbound — is one of the primary functions of supply chain management, customer service belongs in supply chain.
Costs
Managing the cost of your company's products, the value of your overall inventory and logistics expenses — that's all your CFO is going to want to know your supply chain leadership is managing. Supply chain management is uniquely situated to be the cost monitor at your company.
Accuracy
Of course, none of the cost analyses or metrics are any good if they are not accurate. Supply chain management needs to make sure the underlying data that drive on-time delivery reports and other supplier performance data is accurate. That requires audits of your internal processes and audits at your suppliers.
Inventory accuracy is one of the most critical elements of valuing a company. Your supply chain management team should be driving daily cycle counts of your inventory. Then — at least once per year — you should be conducting a 100 percent physical inventory of everything on your books. If you have more than a 1 percent variance between what your system tells you and what your physical count tells you — that means you have work to do to get to 100 percent inventory accuracy. Take a look at your cycle counting practices. Audit and refine them.
At the end of the day, supply chain management is optimized when you are delivering what your customers want, when they want it — and doing that by spending as little money as possible. Cost of goods management, inventory control — and managing your entire supply chain from your Tier II suppliers to your customers will get you on the right track.
Sumber:
https://www.thebalancesmb.com/logistics-4161402
Tuesday, December 17, 2019
E-Commerce Tingkatkan Peluang Ekspor Indonesia
Selasa, 17 Desember 2019 - 11:33 WIB
Forum E-Commerce Indonesia (FEI) 2019 dibuka oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Senin (9/12/2019).
JAKARTA - Forum E-Commerce Indonesia (FEI) 2019 dengan tema 'Optimalisasi Daya Saing Produk Dalam Negeri menuju Pasar Global melalui Pemanfaatan E-Commerce' yang dibuka oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Senin (9/12/2019) menampilkan berbagai talkshow dan pameran produk-produk lokal hasil binaan berbagai platform e-commerce, seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli dan Shopee yang telah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kualitas produk UMKM.
Menteri Agus dalam sambutannya mengatakan tentang pentingnya inovasi dan terobosan di era revolusi industri 4.0. “Pertemuan ini merupakan momentum penting bagi Indonesia dan diharapkan seluruh ekosistem e-commerce bersama-sama dapat berkolaborasi, bahu-membahu untuk mendukung peningkatan transaksi produk lokal menembus dan berjaya di pasar global di era perdagangan bebas,” tegas Mendag Agus Suparmanto.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2019, pengguna internet di Indonesia tahun 2019 mencapai 171,17 jiwa yang menunjukkan bahwa 64,8 % penduduk Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan e-commerce. Hal ini tentu saja membuat e-commerce dapat menjadi salah satu tools untuk meningkatkan ekspor Indonesia.
Pada kesempatan tersebut Menteri Perdagangan juga menyampaikan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PP ini berisi tentang kepastian berusaha, equal playing field antar pelaku usaha, serta perlindungan konsumen yang diharapkan dapat menumbuhkan consumer trust dan consumer confident.
PP tersebut untuk memberikan perlakuan yang sama antarpelaku usaha, baik itu pelaku usaha offline maupun online, serta pelaku usaha baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan pelaku usaha online juga akan diwajibkan untuk memiliki izin, mekanisme perizinannya akan diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan dan peraturan tersebut akan dibuat semudah mungkin agar tidak memberatkan pelaku usaha.
“Pelaku usaha wajib izin untuk melindungi konsumen agar pembeli yakin bahwa penjual (pedagang online) ini jelas dan produknya juga jelas” ujar Mendag Agus Suparmanto.
Menyikapi perdagangan global, Menteri Perdagangan menyampaikan program-program strategis Kemendag, diantaranya pendampingan dan pengembangan managemen usaha, digital branding dan pemasaran, pelatihan ekspor secara online, serta program fasilitator edukasi e-commerce untuk melatih "local heroes" di daerah. Program ini dibuat agar dapat menularkan pengetahuan e-commerce kepada UKM di lingkungan sekitarnya.
Pada FEI 2019 juga diluncurkan program Hari Belanja Online Nasional ke-9 yang mengangkat tema 'Semua Bisa Online'. Selama periode Harbolnas, berbagai platform atau marketplace akan memberikan diskon dan promo gratis ongkir kepada konsumen.
Harbolnas 2019 ini didukung oleh 265 pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) dan turut diramaikan oleh platform yang menyediakan hasil alam kebutuhan rumah tangga, seperti Tani Hub, Brambang.com, dan Sayur Box.
“Diharapkan acara FEI 2019 dan Harbolnas ke-9 dapat memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce), khususnya UMKM dalam meningkatkan usahanya. Selain itu, dengan memanfaatkan perdagangan melalu sistem elektronik (e-commerce) dapat memasarkan produk dalam negeri lebih efisien dengan jangkauan global,” tutup Mendag Agus Suparmanto.
Sumber :
https://ekbis.sindonews.com/read/1472161/34/e-commerce-tingkatkan-peluang-ekspor-indonesia-1576557225
Forum E-Commerce Indonesia (FEI) 2019 dibuka oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Senin (9/12/2019).
JAKARTA - Forum E-Commerce Indonesia (FEI) 2019 dengan tema 'Optimalisasi Daya Saing Produk Dalam Negeri menuju Pasar Global melalui Pemanfaatan E-Commerce' yang dibuka oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Senin (9/12/2019) menampilkan berbagai talkshow dan pameran produk-produk lokal hasil binaan berbagai platform e-commerce, seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli dan Shopee yang telah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kualitas produk UMKM.
Menteri Agus dalam sambutannya mengatakan tentang pentingnya inovasi dan terobosan di era revolusi industri 4.0. “Pertemuan ini merupakan momentum penting bagi Indonesia dan diharapkan seluruh ekosistem e-commerce bersama-sama dapat berkolaborasi, bahu-membahu untuk mendukung peningkatan transaksi produk lokal menembus dan berjaya di pasar global di era perdagangan bebas,” tegas Mendag Agus Suparmanto.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2019, pengguna internet di Indonesia tahun 2019 mencapai 171,17 jiwa yang menunjukkan bahwa 64,8 % penduduk Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan e-commerce. Hal ini tentu saja membuat e-commerce dapat menjadi salah satu tools untuk meningkatkan ekspor Indonesia.
Pada kesempatan tersebut Menteri Perdagangan juga menyampaikan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PP ini berisi tentang kepastian berusaha, equal playing field antar pelaku usaha, serta perlindungan konsumen yang diharapkan dapat menumbuhkan consumer trust dan consumer confident.
PP tersebut untuk memberikan perlakuan yang sama antarpelaku usaha, baik itu pelaku usaha offline maupun online, serta pelaku usaha baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan pelaku usaha online juga akan diwajibkan untuk memiliki izin, mekanisme perizinannya akan diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan dan peraturan tersebut akan dibuat semudah mungkin agar tidak memberatkan pelaku usaha.
“Pelaku usaha wajib izin untuk melindungi konsumen agar pembeli yakin bahwa penjual (pedagang online) ini jelas dan produknya juga jelas” ujar Mendag Agus Suparmanto.
Menyikapi perdagangan global, Menteri Perdagangan menyampaikan program-program strategis Kemendag, diantaranya pendampingan dan pengembangan managemen usaha, digital branding dan pemasaran, pelatihan ekspor secara online, serta program fasilitator edukasi e-commerce untuk melatih "local heroes" di daerah. Program ini dibuat agar dapat menularkan pengetahuan e-commerce kepada UKM di lingkungan sekitarnya.
Pada FEI 2019 juga diluncurkan program Hari Belanja Online Nasional ke-9 yang mengangkat tema 'Semua Bisa Online'. Selama periode Harbolnas, berbagai platform atau marketplace akan memberikan diskon dan promo gratis ongkir kepada konsumen.
Harbolnas 2019 ini didukung oleh 265 pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) dan turut diramaikan oleh platform yang menyediakan hasil alam kebutuhan rumah tangga, seperti Tani Hub, Brambang.com, dan Sayur Box.
“Diharapkan acara FEI 2019 dan Harbolnas ke-9 dapat memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce), khususnya UMKM dalam meningkatkan usahanya. Selain itu, dengan memanfaatkan perdagangan melalu sistem elektronik (e-commerce) dapat memasarkan produk dalam negeri lebih efisien dengan jangkauan global,” tutup Mendag Agus Suparmanto.
Sumber :
https://ekbis.sindonews.com/read/1472161/34/e-commerce-tingkatkan-peluang-ekspor-indonesia-1576557225
Monday, December 9, 2019
Biaya Logistik Tertinggi di Asean
Biaya Logistik Tertinggi di Asean, Ini Saran untuk Presiden
Hendra WibawaHendra Wibawa - Bisnis.com
09 Desember 2019 | 07:30 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah belum menegaskan kementerian yang akan menjadi pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Sistem Logistik Nasional (Sislognas), serta mempunyai kewewenangan jelas supaya tidak terjadi tumpang tindih antarkementerian dan lembaga.
Koordinator Forum Logistik Indonesia (FLI) Yukki Nugrahawan Hanafi menyampaikan Forum Logistik merekomendasikan pembentukan badan adhoc bidang logistik sebagai salah satu langkah penting pembenahan atau perbaikan sistem logistik nasional untuk peningkatan daya saing.
"Mengingat sektor logistik bersifat multisektoral, badan adhoc itu dipimpin Presiden," katanya seusai menggelar pertemuan FLI di Jakarta seperti disampaikan dalam siaran pers, Minggu (9/12/2019).
FLI terbentuk pada 3 Desember 2019 dari sebuah momentum istimewa dengan berkumpulnya para key stakeholder sektor logistik nasional. Mereka terdiri atas para praktisi BUMN & swasta, akademisi, peneliti, pengamat, asosiasi perusahaan maupun profesi, dan lain-lain yang prihatin dan khawatir karena kondisi logistik yang belum membaik dan masih kurang efektif dalam perbaikan daya saing di antara negara Asean.
Yukki yang juga Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menegaskan badan adhoc itu bersifat sementara dan dipimpin langsung oleh serta dapat dihindarinya sikap ego sektoral baik pada lingkup swasta maupun pemerintahan dalam penerapan integrasi Sislognas.
Selain itu, dia juga menyatakan masih perlu penguatan sinergi antara perusahaan BUMN penunjang logistik yang mendominasi di infrastruktur dan perusahaan swasta dalam peningkatan daya saing nasional.
Menurutnya, kemauan yang kuat untuk kolaborasi, sinergi, dan menyatukan visi antara semua pihak baik dari kementerian/lembaga pemerintah, BUMN, BUMS, UMKM, dan koperasi bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional yang jauh lebih baik lagi.
Selama ini, sektor logistik Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan terkait regulasi, kelembagaan, dan persaingan usaha. Berbagai persoalan itu berdampak terhadap inefisiensi sektor logistik yang mempengaruhi daya saing produk dan komoditas nasional.
Yukki menambahkan sejumlah permasalahan regulasi, termasuk kebutuhan harmonisasi peraturan perundangan, masih menjadi kendala dan berdampak terhadap kemudahan dan kelancaran perizinan usaha sektor logistik. Hal ini berpotensi melemahkan daya saing serta penurunan nilai investasi.
Nofrisel, Wakil Koordinator I FLI, menambahkan bahwa persoalan logistik lainnya adalah biaya logistik Indonesia yang masih tinggi sekitar 24 persen-27 persen dari GDP.
Selain itu, regulasi yang kontra produktif, ketidakseimbangan arus barang dengan sekitar 82 persen di wilayah Indonesia bagian barat/tengah dan 18 persen di Indonesia bagian timur.
Sektor logistik Indonesia diatur dengan Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional yang menjadi tatanan konsep makro dalam perbaikan kondisi sektor logistik.
Sislognas memiliki enam kunci penggerak utama yaitu komoditas utama, infrastruktur logistik, teknologi informasi dan komunikasi, pelaku dan penyedia jasa logistik lokal, SDM logistik, serta regulasi di bidang logistik.
Sislognas telah menghasilkan beberapa hasil nyata yang berkontribusi terhadap perkembangan kondisi logistik secara nasional. Hasil itu di antaranya adalah kebijakan ekonomi terkait bidang logistik, standar kompetensi kerja nasional bidang logistik, pembangunan infrastruktur pendukung daya saing logistik, serta pengembangan pendidikan formal dan vokasi bidang logistik.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191209/98/1179157/biaya-logistik-tertinggi-di-asean-ini-saran-untuk-presiden
Hendra WibawaHendra Wibawa - Bisnis.com
09 Desember 2019 | 07:30 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah belum menegaskan kementerian yang akan menjadi pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Sistem Logistik Nasional (Sislognas), serta mempunyai kewewenangan jelas supaya tidak terjadi tumpang tindih antarkementerian dan lembaga.
Koordinator Forum Logistik Indonesia (FLI) Yukki Nugrahawan Hanafi menyampaikan Forum Logistik merekomendasikan pembentukan badan adhoc bidang logistik sebagai salah satu langkah penting pembenahan atau perbaikan sistem logistik nasional untuk peningkatan daya saing.
"Mengingat sektor logistik bersifat multisektoral, badan adhoc itu dipimpin Presiden," katanya seusai menggelar pertemuan FLI di Jakarta seperti disampaikan dalam siaran pers, Minggu (9/12/2019).
FLI terbentuk pada 3 Desember 2019 dari sebuah momentum istimewa dengan berkumpulnya para key stakeholder sektor logistik nasional. Mereka terdiri atas para praktisi BUMN & swasta, akademisi, peneliti, pengamat, asosiasi perusahaan maupun profesi, dan lain-lain yang prihatin dan khawatir karena kondisi logistik yang belum membaik dan masih kurang efektif dalam perbaikan daya saing di antara negara Asean.
Yukki yang juga Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menegaskan badan adhoc itu bersifat sementara dan dipimpin langsung oleh serta dapat dihindarinya sikap ego sektoral baik pada lingkup swasta maupun pemerintahan dalam penerapan integrasi Sislognas.
Selain itu, dia juga menyatakan masih perlu penguatan sinergi antara perusahaan BUMN penunjang logistik yang mendominasi di infrastruktur dan perusahaan swasta dalam peningkatan daya saing nasional.
Menurutnya, kemauan yang kuat untuk kolaborasi, sinergi, dan menyatukan visi antara semua pihak baik dari kementerian/lembaga pemerintah, BUMN, BUMS, UMKM, dan koperasi bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional yang jauh lebih baik lagi.
Selama ini, sektor logistik Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan terkait regulasi, kelembagaan, dan persaingan usaha. Berbagai persoalan itu berdampak terhadap inefisiensi sektor logistik yang mempengaruhi daya saing produk dan komoditas nasional.
Yukki menambahkan sejumlah permasalahan regulasi, termasuk kebutuhan harmonisasi peraturan perundangan, masih menjadi kendala dan berdampak terhadap kemudahan dan kelancaran perizinan usaha sektor logistik. Hal ini berpotensi melemahkan daya saing serta penurunan nilai investasi.
Nofrisel, Wakil Koordinator I FLI, menambahkan bahwa persoalan logistik lainnya adalah biaya logistik Indonesia yang masih tinggi sekitar 24 persen-27 persen dari GDP.
Selain itu, regulasi yang kontra produktif, ketidakseimbangan arus barang dengan sekitar 82 persen di wilayah Indonesia bagian barat/tengah dan 18 persen di Indonesia bagian timur.
Sektor logistik Indonesia diatur dengan Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional yang menjadi tatanan konsep makro dalam perbaikan kondisi sektor logistik.
Sislognas memiliki enam kunci penggerak utama yaitu komoditas utama, infrastruktur logistik, teknologi informasi dan komunikasi, pelaku dan penyedia jasa logistik lokal, SDM logistik, serta regulasi di bidang logistik.
Sislognas telah menghasilkan beberapa hasil nyata yang berkontribusi terhadap perkembangan kondisi logistik secara nasional. Hasil itu di antaranya adalah kebijakan ekonomi terkait bidang logistik, standar kompetensi kerja nasional bidang logistik, pembangunan infrastruktur pendukung daya saing logistik, serta pengembangan pendidikan formal dan vokasi bidang logistik.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191209/98/1179157/biaya-logistik-tertinggi-di-asean-ini-saran-untuk-presiden
Mendag: Daftar Izin UMKM di E-Commerce Gratis
Senin, 9 Desember 2019 14:06 WIB
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto menyatakan, mengurus daftar izin bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di e-commerce gratis.
Agus menjelaskan, proses pengurusan izin via PP 80 Tahun 2019 tersebut selain gratis, juga dipercepat bila berhubungan dengan mendorong kegiatan ekspor.
"Untuk izin ini tidak ada pungutan, juga dipercepat terutama dalam kaitannya dengan ekspor," ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (9/12/2019).
Menurut Agus, regulasi ini dibuat pemerintah sebagai bentuk perlindungan terhadap pengusaha dan kepercayaan konsumen.
"Kami optimis pemberdayaan e-commerce bisa dorong industri lainnya seperti fintech dan logistik," katanya.
Ia merincikan, daftar izin ini dipermudah dengan One Single Submission (OSS), sehingga UMKM mengurusnya bisa lewat online.
"Daftar dipermudah, daftar tidak harus datang, ada online, e-commerce wajib setor data supaya melindungi konsumen juga, ini penjualnya jelas," pungkas Agus.
Sumber :
https://www.tribunnews.com/bisnis/2019/12/09/mendag-daftar-izin-umkm-di-e-commerce-gratis.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto menyatakan, mengurus daftar izin bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di e-commerce gratis.
Agus menjelaskan, proses pengurusan izin via PP 80 Tahun 2019 tersebut selain gratis, juga dipercepat bila berhubungan dengan mendorong kegiatan ekspor.
"Untuk izin ini tidak ada pungutan, juga dipercepat terutama dalam kaitannya dengan ekspor," ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (9/12/2019).
Menurut Agus, regulasi ini dibuat pemerintah sebagai bentuk perlindungan terhadap pengusaha dan kepercayaan konsumen.
"Kami optimis pemberdayaan e-commerce bisa dorong industri lainnya seperti fintech dan logistik," katanya.
Ia merincikan, daftar izin ini dipermudah dengan One Single Submission (OSS), sehingga UMKM mengurusnya bisa lewat online.
"Daftar dipermudah, daftar tidak harus datang, ada online, e-commerce wajib setor data supaya melindungi konsumen juga, ini penjualnya jelas," pungkas Agus.
Sumber :
https://www.tribunnews.com/bisnis/2019/12/09/mendag-daftar-izin-umkm-di-e-commerce-gratis.
Analisis VEN
Analisis VEN merupakan analisa yang digunakan untuk menetapkan prioritas pembelian obat serta menentukan tingkat stok yang aman dan harga penjualan obat. Kategori dari obat-obat VEN yaitu:
a) V (Vital)
Merupakan obat-obat yang harus ada, yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, masuk dalam kategori potensial life saving drug, mempunyai efek samping withdrawl secara signifikan (pemberian harus secara teratur dan penghentiannya tidak tiba-tiba) atau sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Kriteria nilai kritis obat ini adalah kelompok obat yang sangat essensial atau vital untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi penyakit penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan. Pada obat kelompok ini tidak boleh terjadi kekosongan (Quick,1997).
b) E (Essensial)
Merupakan obat-obat yang efektif untuk mengurangi rasa kesakitan, namun sangat signifikan untuk bermacam-macam penyakit tetapi tidak vital secara absolut, hanya untuk penyediaan sistem dasar. Kriteria nilai kritis obat ini adalah obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit dan yang banyak digunakan dalam pengobatan penyakit terbanyak. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolelir kurang dari 48 jam (Quick,1997).
c) N (Non Essensial)
Merupakan obat-obat yang digunakan untuk penyakit yang dapat sembuh sendiri dan obat yang diragukan manfaatnya dibanding obat lain yang sejenis. Kriteria nilai krisis obat ini adalah obat penunjang agar tindakan atau pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir lebih dari 48 jam (Quick,1997).
Sumber :
http://hsandiari.blogspot.com/2015/07/metode-analisa-abc-dan-ven-beserta.html
a) V (Vital)
Merupakan obat-obat yang harus ada, yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, masuk dalam kategori potensial life saving drug, mempunyai efek samping withdrawl secara signifikan (pemberian harus secara teratur dan penghentiannya tidak tiba-tiba) atau sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Kriteria nilai kritis obat ini adalah kelompok obat yang sangat essensial atau vital untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi penyakit penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan. Pada obat kelompok ini tidak boleh terjadi kekosongan (Quick,1997).
b) E (Essensial)
Merupakan obat-obat yang efektif untuk mengurangi rasa kesakitan, namun sangat signifikan untuk bermacam-macam penyakit tetapi tidak vital secara absolut, hanya untuk penyediaan sistem dasar. Kriteria nilai kritis obat ini adalah obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit dan yang banyak digunakan dalam pengobatan penyakit terbanyak. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolelir kurang dari 48 jam (Quick,1997).
c) N (Non Essensial)
Merupakan obat-obat yang digunakan untuk penyakit yang dapat sembuh sendiri dan obat yang diragukan manfaatnya dibanding obat lain yang sejenis. Kriteria nilai krisis obat ini adalah obat penunjang agar tindakan atau pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir lebih dari 48 jam (Quick,1997).
Sumber :
http://hsandiari.blogspot.com/2015/07/metode-analisa-abc-dan-ven-beserta.html
Analisis ABC
Analisis ABC adalah metode dalam manajemen persediaan (inventory management) untuk mengendalikan sejumlah kecil barang, tetapi mempunyai nilai investasi yang tinggi.
Analisis ABC didasarkan pada sebuah konsep yang dikenal dengan nama Hukum Pareto (Ley de Pareto), dari nama ekonom dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923).
Hukum Pareto menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki persentase terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Pada tahun 1940-an, Ford Dickie dari General Electric mengembangkan konsep Pareto ini untuk menciptakan konsep ABC dalam klasifikasi barang persediaan.
Berdasarkan hukum Pareto, analisis ABC dapat menggolongkan barang berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah, dan kemudian dibagi menjadi kelas-kelas besar terprioritas, biasanya kelas dinamai A, B, C, dan seterusnya secara berurutan dari peringkat nilai tertinggi hingga terendah, oleh karena itu analisis ini dinamakan “Analisis ABC”. Umumnya kelas A memiliki jumlah jenis barang yang sedikit, namun memiliki nilai yang sangat tinggi.
Analisis ABC digunakan untuk menganalisa tingkat konsumsi semua jenis obat. Analisis ini mengenai 3 kelas yaitu:
a) A (Always)
Obat harus ada karena berhubungan dengan pengendalian dalam pengadaannya. Persentase kumulatifnya antara 75%-80%. Kelas A tersebut menunjukkan 10%-20% macam persediaan memiliki 70%-80% dari total biaya persediaan. Hal ini berarti persediaan memiliki nilai jual yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan ekstra dan pengendalian yang harus baik (Quick, 1997).
b) B (Better)
Kelas B, 20-40% item obat di rumah sakit dengan alokasi dana 10-15% dari keseluruhan anggaran obat. Persentase kumulatifnya antara 80-95% (Quick, 1997).
c) C (Control)
Obat mempunyai nilai yang rendah, yaitu sekitar 5% namun jumlah obat sangat banyak, yaitu mencapai 60%. Karena obat selalu tersedia maka pengendalian pada tingkat ini tidak begitu berat. Persentase kumulatifnya antara 95%-100% (Quick, 1997).
Sumber :
http://hsandiari.blogspot.com/2015/07/metode-analisa-abc-dan-ven-beserta.html
Analisis ABC didasarkan pada sebuah konsep yang dikenal dengan nama Hukum Pareto (Ley de Pareto), dari nama ekonom dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923).
Hukum Pareto menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki persentase terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Pada tahun 1940-an, Ford Dickie dari General Electric mengembangkan konsep Pareto ini untuk menciptakan konsep ABC dalam klasifikasi barang persediaan.
Berdasarkan hukum Pareto, analisis ABC dapat menggolongkan barang berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah, dan kemudian dibagi menjadi kelas-kelas besar terprioritas, biasanya kelas dinamai A, B, C, dan seterusnya secara berurutan dari peringkat nilai tertinggi hingga terendah, oleh karena itu analisis ini dinamakan “Analisis ABC”. Umumnya kelas A memiliki jumlah jenis barang yang sedikit, namun memiliki nilai yang sangat tinggi.
Analisis ABC digunakan untuk menganalisa tingkat konsumsi semua jenis obat. Analisis ini mengenai 3 kelas yaitu:
a) A (Always)
Obat harus ada karena berhubungan dengan pengendalian dalam pengadaannya. Persentase kumulatifnya antara 75%-80%. Kelas A tersebut menunjukkan 10%-20% macam persediaan memiliki 70%-80% dari total biaya persediaan. Hal ini berarti persediaan memiliki nilai jual yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan ekstra dan pengendalian yang harus baik (Quick, 1997).
b) B (Better)
Kelas B, 20-40% item obat di rumah sakit dengan alokasi dana 10-15% dari keseluruhan anggaran obat. Persentase kumulatifnya antara 80-95% (Quick, 1997).
c) C (Control)
Obat mempunyai nilai yang rendah, yaitu sekitar 5% namun jumlah obat sangat banyak, yaitu mencapai 60%. Karena obat selalu tersedia maka pengendalian pada tingkat ini tidak begitu berat. Persentase kumulatifnya antara 95%-100% (Quick, 1997).
Sumber :
http://hsandiari.blogspot.com/2015/07/metode-analisa-abc-dan-ven-beserta.html
Penjadwalan Produksi
Berbagai teknik dapat diterapkan untuk penjadwalan. Teknik yang digunakan tergantung dari volume produksi, variasi produk, keadaan operasi, dan kompleksitas dari pekerjaan sendiri dan pengendalian yang diperlukan selama proses. Beberapa teknik yang sering digunakan antara lain Gantt Chart, metode penugasan dan metode Johnson.
Kebanyakan perusahaan menyelesaikan pekerjaan secara bersamaan, karena itu perlu menggabungkan beberapa jadwal kerja. Penggabungan ini dimungkinkan apabila tanggal penyerahan atau selesai untuk setiap pekerjaan dapat diketahui dan seluruh penggabungan tersebut akan dilaksanakan oleh setiap bagian proses sepanjang periode yang direncanakan. Proses penggabungan ini disebut Penjadwalan ( scheduling ) dan hasilnya secara sederhana disebut jadwal ( schedule ) atau jadwal produksi ( production schedule ) secara keseluruhan. Salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan efisiensi dalam unit operasi adalah kemampuan untuk menyusun jadwal secara efektif.
Namun dalam menyusun jadwal secara efektif terdapat beberapa kesulitan, yaitu :
1.kesulitan dalam mengidentifikasi tujuan dari jadwal yang sedang dilaksanakan
2.jumlah yang sangat besar dari jadwal yang mungkin
Untuk mengurangi masalah yang timbul dari penjadwalan dapat dilakukan cara sebagai berikut :
a.mengurangi jumlah variasi produk
b.mengurangi jumlah variasi komponen
c.melaksanakan perluasan kerja
d.mengadakan sub kontrak
e.mengurangi unit organisasi
f.meningkatkan disiplin kerja
g.lokasi kerja dekat dengan daerah pemasaran
Metode Penjadwalan
Beberapa metode yang yang dapat digunakan dalam menyusun jadwal adalah sebagai berikut :
1.Metode Jalur Kritis ( critical path method )
Metode ini lebih cocok untuk penjadwalan pekerjaan proyek yang memiliki kegiatan awal dan kegiatan akhir.
2.Pendekatan cabang dan batas ( branch and bound approach )
Metode ini banyak digunakan untuk membuat jadwal produksi kelompok dan disajikan dalam bentuk pohon dengan cabang – cabangnya.
3.Lini keseimbangan ( line of balancing )
Metode ini efektif digunakan untuk pembuatan jadwal proyek atau jadwal produksi untuk unit tunggal yang menggunakan system rakitan, seperti pembuatan kursi jok.
4.Metode Perencanaan Kebutuhan Bahan (material requirement planning / MRP )
Metode ini telah banyak digunakan dalam penyelesaian proyek industri, mulai dari pembangunan rumah sederhana hingga gedung pencakar langit.
5.Metode Tepat Waktu ( just in time / JIT )
Metode ini merupakan system produksi yang dikembangkan oleh Jepang dan terbukti berhasil untuk pekerjaan produksi massa dan berulang dengan pengendalian yang lebih ketat.
6.Metode Teknologi yang dioptimalkan ( optimized production technology / OPT )
Metode ini merupakan metode yang relatif baru dan didukung oleh perangkat lunak komputer.
Sumber :
http://sangpenyampai.blogspot.com/2010/04/penjadwalan-produksi.html
Kebanyakan perusahaan menyelesaikan pekerjaan secara bersamaan, karena itu perlu menggabungkan beberapa jadwal kerja. Penggabungan ini dimungkinkan apabila tanggal penyerahan atau selesai untuk setiap pekerjaan dapat diketahui dan seluruh penggabungan tersebut akan dilaksanakan oleh setiap bagian proses sepanjang periode yang direncanakan. Proses penggabungan ini disebut Penjadwalan ( scheduling ) dan hasilnya secara sederhana disebut jadwal ( schedule ) atau jadwal produksi ( production schedule ) secara keseluruhan. Salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan efisiensi dalam unit operasi adalah kemampuan untuk menyusun jadwal secara efektif.
Namun dalam menyusun jadwal secara efektif terdapat beberapa kesulitan, yaitu :
1.kesulitan dalam mengidentifikasi tujuan dari jadwal yang sedang dilaksanakan
2.jumlah yang sangat besar dari jadwal yang mungkin
Untuk mengurangi masalah yang timbul dari penjadwalan dapat dilakukan cara sebagai berikut :
a.mengurangi jumlah variasi produk
b.mengurangi jumlah variasi komponen
c.melaksanakan perluasan kerja
d.mengadakan sub kontrak
e.mengurangi unit organisasi
f.meningkatkan disiplin kerja
g.lokasi kerja dekat dengan daerah pemasaran
Metode Penjadwalan
Beberapa metode yang yang dapat digunakan dalam menyusun jadwal adalah sebagai berikut :
1.Metode Jalur Kritis ( critical path method )
Metode ini lebih cocok untuk penjadwalan pekerjaan proyek yang memiliki kegiatan awal dan kegiatan akhir.
2.Pendekatan cabang dan batas ( branch and bound approach )
Metode ini banyak digunakan untuk membuat jadwal produksi kelompok dan disajikan dalam bentuk pohon dengan cabang – cabangnya.
3.Lini keseimbangan ( line of balancing )
Metode ini efektif digunakan untuk pembuatan jadwal proyek atau jadwal produksi untuk unit tunggal yang menggunakan system rakitan, seperti pembuatan kursi jok.
4.Metode Perencanaan Kebutuhan Bahan (material requirement planning / MRP )
Metode ini telah banyak digunakan dalam penyelesaian proyek industri, mulai dari pembangunan rumah sederhana hingga gedung pencakar langit.
5.Metode Tepat Waktu ( just in time / JIT )
Metode ini merupakan system produksi yang dikembangkan oleh Jepang dan terbukti berhasil untuk pekerjaan produksi massa dan berulang dengan pengendalian yang lebih ketat.
6.Metode Teknologi yang dioptimalkan ( optimized production technology / OPT )
Metode ini merupakan metode yang relatif baru dan didukung oleh perangkat lunak komputer.
Sumber :
http://sangpenyampai.blogspot.com/2010/04/penjadwalan-produksi.html
Penjadwalan (Scheduling)
Pengertian Penjadwalan (Scheduling) dalam Proses Produksi
Penjadwalan (Scheduling) atau membuat Jadwal adalah salah satu kegiatan yang penting dalam proses produksi ataupun pekerjaan suatu proyek. Penjadwalan digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya pabrik seperti mesin dan peralatan produksi, merencanakan sumber daya manusia yang akan digunakan, pembelian material dan merencanakan proses produksi. Penjadwalan yang baik akan memberikan dampak yang positif terhadap kelancaran produksi serta meminimalkan waktu dan biaya produksi.
Jadi, Penjadwalan Produksi atau Production Scheduling ini dapat didefinisikan sebagai proses mengatur, mengendalikan dan mengoptimalkan kerja dan beban kerja dalam proses produksi atau proses manufaktur. Dengan kata lain, Penjadwalan produksi adalah penentuan waktu dan tempat dimana suatu proses produksi harus dilakukan untuk mendapatkan dengan jumlah yang diinginkan. Dengan Penjadwalan Produksi ini, manajemen dapat mengidentifikasikan sumber daya apa yang akan dikonsumsi pada tahap produksi tertentu berdasarkan perkiraan jadwal yang dibuat agar perusahaan tidak kekurangan sumber daya pada saat produksi berlangsung.
Dua Teknik dalam Penjadwalan Produksi
Pada umumnya, terdapat dua teknik dalam penjadwalan produksi yaitu teknik Penjadwalan Maju (Forward Scheduling) dan teknik Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling).
1. Penjadwalan Maju (Forward Scheduling)
Penjadwalan Maju (Forward Scheduling) adalah teknik penjadwalan produksi yang menentukan waktu mulai produksi (start) terlebih dahulu dan kemudian menghitung jadwal waktu ke depan (maju) untuk setiap kegiatan operasi/produksi agar dapat menentukan waktu penyelesaian keseluruhan proses produksi (completion).
2. Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling)
Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling) adalah teknik penjadwalan produksi yang menentukan waktu kapan suatu produk dibutuhkan atau waktu kapan suatu proyek harus diselesaikan. Dari waktu penyelesaian (completion) atau waktu kebutuhan tersebut kemudian dihitung mundur waktu yang tepat kapan suatu proyek atau proses produksi harus dimulai (start).
Metodologi Penjadwalan Produksi
Metodologi Penjadwalan Produksi pada dasarnya tergantung pada jenis industri, organisasi, jenis produk dan tingkat kecanggihan dalam memproduksi sudah produk. Berikut ini adalah beberapa metodologi dalam penjadwalan proses produksi.
Gantt Chart
Aturan Keputusan Prioritas (Priority Decision Rules)
Metode Pemrograman Matematika (Mathematical Programming Methods)
– Model Program Linear
– Model Jaringan PERT/CPM
Sumber :
https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-penjadwalan-scheduling-dalam-proses-produksi/
Penjadwalan (Scheduling) atau membuat Jadwal adalah salah satu kegiatan yang penting dalam proses produksi ataupun pekerjaan suatu proyek. Penjadwalan digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya pabrik seperti mesin dan peralatan produksi, merencanakan sumber daya manusia yang akan digunakan, pembelian material dan merencanakan proses produksi. Penjadwalan yang baik akan memberikan dampak yang positif terhadap kelancaran produksi serta meminimalkan waktu dan biaya produksi.
Jadi, Penjadwalan Produksi atau Production Scheduling ini dapat didefinisikan sebagai proses mengatur, mengendalikan dan mengoptimalkan kerja dan beban kerja dalam proses produksi atau proses manufaktur. Dengan kata lain, Penjadwalan produksi adalah penentuan waktu dan tempat dimana suatu proses produksi harus dilakukan untuk mendapatkan dengan jumlah yang diinginkan. Dengan Penjadwalan Produksi ini, manajemen dapat mengidentifikasikan sumber daya apa yang akan dikonsumsi pada tahap produksi tertentu berdasarkan perkiraan jadwal yang dibuat agar perusahaan tidak kekurangan sumber daya pada saat produksi berlangsung.
Dua Teknik dalam Penjadwalan Produksi
Pada umumnya, terdapat dua teknik dalam penjadwalan produksi yaitu teknik Penjadwalan Maju (Forward Scheduling) dan teknik Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling).
1. Penjadwalan Maju (Forward Scheduling)
Penjadwalan Maju (Forward Scheduling) adalah teknik penjadwalan produksi yang menentukan waktu mulai produksi (start) terlebih dahulu dan kemudian menghitung jadwal waktu ke depan (maju) untuk setiap kegiatan operasi/produksi agar dapat menentukan waktu penyelesaian keseluruhan proses produksi (completion).
2. Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling)
Penjadwalan Mundur (Backward Scheduling) adalah teknik penjadwalan produksi yang menentukan waktu kapan suatu produk dibutuhkan atau waktu kapan suatu proyek harus diselesaikan. Dari waktu penyelesaian (completion) atau waktu kebutuhan tersebut kemudian dihitung mundur waktu yang tepat kapan suatu proyek atau proses produksi harus dimulai (start).
Metodologi Penjadwalan Produksi
Metodologi Penjadwalan Produksi pada dasarnya tergantung pada jenis industri, organisasi, jenis produk dan tingkat kecanggihan dalam memproduksi sudah produk. Berikut ini adalah beberapa metodologi dalam penjadwalan proses produksi.
Gantt Chart
Aturan Keputusan Prioritas (Priority Decision Rules)
Metode Pemrograman Matematika (Mathematical Programming Methods)
– Model Program Linear
– Model Jaringan PERT/CPM
Sumber :
https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-penjadwalan-scheduling-dalam-proses-produksi/
Sunday, December 8, 2019
Logistik Makro dan Logistik Mikro
Kita harus bisa membedakan antara Konsep Logistik (Makro) dan Eksekusi Logistik (Mikro), sering kali kita terjebak disini. Melakukan analisa makro tetapi memakai kaca mata mikro. Kalau kita mendesign konsep logistik Makro dengan kaca mata Mikro akhirnya bisa seperti yg sering dikatakan oleh teman saya Mahendra: Perfecting the Wrong Thing.
Konsep Blueprint atau Sislognas adalah design sistem logistik Indonesia secara Makro yang mempunyai visi locally integrated & globally connected, dan objectivenya adalah menurunkan biaya logistik & meningkatkan service level. Sehingga design dari sislognas harus mendukng tercapainya objective seperti Moda transportasi yg menjadi prioritas (jalan,laut atau udara), dimana lokasi hub internasional, dimana saja alur ferry dan kapal laut utk menghubungkan pulau kita, lokasi logistics center, dll. Juga membahas apa saja yg perlu dibuat untuk mendukung SDM Indonesia di bid logistik, sistem IT yg seperti apa, regulasi yg harmonis antara daerah dan pusat dan antar dept, dan peranan jasa logistik.
Kalau kita membuat Sislognas dengan mempertimbangkan semua hambatan yg terjadi di lapangan (mikro), maka tdk pernah akan jadi Sislognas kita ini. Hambatan dilapangan harus dihilangkan bukan dipertimbangkan. Yang harus dipertimbangkan dalam sislognas adalah kondisi alam dan jalur perdagangan.
Setelah makro designnya jadi baru kita turunkan menjadi aturan, guidance,enforcement, agar menjadi applicable di lapangan. Proses ini tdk mudah tapi perlu support dari kita semua dan sikap optimis bahwa design yg dibuat akan membuat sistem logistik kita lebih baik.
Sebenarnya proses diatas sdh kita lakukan di tempat kerja kita masing2,dimana waktu kita mendesign sistem logistik di perusahaan, kita memakai business strategy sebagai panduan dan akhirnya diturunkan menjadi program kerja di bidang logistik. Jadi kalau perusahaan kita ingin menambah market share 5%, dept logistik harus siap2 untuk nambah gudang baru, truk dll.
Proses ini berjalan bertahap sampai ke program kerja masing2 orang, hambatan di lapangan seperti pungli, skill SDM yg kurang dll, tdk akan mempengaruhi target perusahaan utk menambah market share 5%, dept logistik yg harus mengatasi masalah tsb.
Logistik adalah enabler dari ekonomi makanya harus dibuat se-efisien mungkin, kasus dari RA membuat Logistik bukan menjadi enabler tapi blocker thd ekonomi. Kalau jaringan distribusi kita sudah lancar maka perbedaan harga produk antar pulau atau daerah akan tipis sehingg ekonomi di masing2 daerah akan berkembang. Sistem Logistik Nasional juga harus berpihak untuk mendukung daya saing produk local, cara nya bagaimana saya juga kurang tahu. Mungkin Pak Angga dari ITB lebih ahli dalam masalah ini.
Sumber :
https://kolombicara.blogspot.com/2011/07/makro-vs-mikro-logistik.html
Konsep Blueprint atau Sislognas adalah design sistem logistik Indonesia secara Makro yang mempunyai visi locally integrated & globally connected, dan objectivenya adalah menurunkan biaya logistik & meningkatkan service level. Sehingga design dari sislognas harus mendukng tercapainya objective seperti Moda transportasi yg menjadi prioritas (jalan,laut atau udara), dimana lokasi hub internasional, dimana saja alur ferry dan kapal laut utk menghubungkan pulau kita, lokasi logistics center, dll. Juga membahas apa saja yg perlu dibuat untuk mendukung SDM Indonesia di bid logistik, sistem IT yg seperti apa, regulasi yg harmonis antara daerah dan pusat dan antar dept, dan peranan jasa logistik.
Kalau kita membuat Sislognas dengan mempertimbangkan semua hambatan yg terjadi di lapangan (mikro), maka tdk pernah akan jadi Sislognas kita ini. Hambatan dilapangan harus dihilangkan bukan dipertimbangkan. Yang harus dipertimbangkan dalam sislognas adalah kondisi alam dan jalur perdagangan.
Setelah makro designnya jadi baru kita turunkan menjadi aturan, guidance,enforcement, agar menjadi applicable di lapangan. Proses ini tdk mudah tapi perlu support dari kita semua dan sikap optimis bahwa design yg dibuat akan membuat sistem logistik kita lebih baik.
Sebenarnya proses diatas sdh kita lakukan di tempat kerja kita masing2,dimana waktu kita mendesign sistem logistik di perusahaan, kita memakai business strategy sebagai panduan dan akhirnya diturunkan menjadi program kerja di bidang logistik. Jadi kalau perusahaan kita ingin menambah market share 5%, dept logistik harus siap2 untuk nambah gudang baru, truk dll.
Proses ini berjalan bertahap sampai ke program kerja masing2 orang, hambatan di lapangan seperti pungli, skill SDM yg kurang dll, tdk akan mempengaruhi target perusahaan utk menambah market share 5%, dept logistik yg harus mengatasi masalah tsb.
Logistik adalah enabler dari ekonomi makanya harus dibuat se-efisien mungkin, kasus dari RA membuat Logistik bukan menjadi enabler tapi blocker thd ekonomi. Kalau jaringan distribusi kita sudah lancar maka perbedaan harga produk antar pulau atau daerah akan tipis sehingg ekonomi di masing2 daerah akan berkembang. Sistem Logistik Nasional juga harus berpihak untuk mendukung daya saing produk local, cara nya bagaimana saya juga kurang tahu. Mungkin Pak Angga dari ITB lebih ahli dalam masalah ini.
Sumber :
https://kolombicara.blogspot.com/2011/07/makro-vs-mikro-logistik.html
Saturday, December 7, 2019
5 Tahun ke Depan, Biaya Logistik RI Berpotensi Turun 4-5%
Abdul Muslim,
Sabtu, 7 Desember 2019 | 09:25 WIB
JAKARTA, investor.id -- Indonesia berpotensi bisa menurunkan biaya logistik (logistic cost) 4-5% dalam lima tahun ke depan. Proyeksi penurunan itu akan terjadi jika pelabuhan-pelabuhan Indonesia menerapkan konsep pelabuhan yang terintegrasi dan menjadi fasilitator perdagangan (trade fasilitator), atau market place.
"Tapi, saya yakin sekali, berdasarkan simulasi yang kami bikin, kalau ini terjadi, logistic cost kita akan turun 4-5% dalam 5 tahun mendatang," ungkap Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G Masassya, di sela peringatan HUT Pelindo II (IPC) ke-27 di Jakarta, Jumat (6/12) malam.
Dia menjabarkan, salah satu fungsi utama (main function) dari pelabuhan adalah bagaimana agar Indonesia ke depan punya daya saing. Sedangkan daya saing akan meningkat jika logistic cost bisa diturunkan dan rendah. "Dalam rangka mencapai logistic cost rendah, menurut hemat saya, menjadikan pelabuhan itu sebagai trade fasilitator.
Pelabuhan bukan hanya sebagai pelabuhan, tapi dia bisa mendukung perdagangan," bebernya. Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G. Masassya. Foto: Investor Daily/Primus Dorimulu Menurut Elvyn, sebagai trade fasilitator, pelabuhan pun harus dibuat terintegrasi dengan kawasan industri, sehingga distribusi barang dari kawasn industri lebih murah. Pelabuhan juga mesti terintegrasi dengan pelayaran, sehingga kapal- kapal yang membawa barang menjadi lebih gampang terhubung (linked) dengan pelabuhan tersebut.
"Nah, semua itu tadi baru akan terjadi kalau kita menerapkan konsep pelabuhan sebagai trade fasilitator, di mana pemilik barang, pengelola transportasi, pelabuhan, dan pemilik kapal ada dalam satu platform.Platform inilah yang kita sebut sebagai trade fasilitator, atau market place," jelasnya.
Dengan cara tersebut, semua pengguna jasa, apakah eksportir maupun importir akan mendapatkan kebutuhannya dengan secara cepat dan lebih transparan. Mereka pun membutuhkan kapal, pergudangan, dan transportasi di satu pelabuhan. Jika semua itu bisa dilakukan, lanjut dia, logistic cost Indonesia akan bisa turun dan produk-produk Indonesia akan punya daya saing lebih tinggi. Karena, biaya ekspornya lebih murah, lebih cepat sampai, dan lebih mudah dimonitor dari sejak dikirimkan sampai ke tempat tujuan.
"Nah, saya pikir ini akan menjadi relevan, kalau konsep ini diterapkan kepada seluruh Pelindo. Artinya, Pelindo yang sekarang tidak dipisahkan lagi berdasarkan regionalnya, tapi berdasarkan fungsi-fungsinya," tuturnya.
Ke depan, idealnya pun hanya ada satu Pelindo sebagai perusahaan BUMN pengelola pelabuhan di Indonesia. Kemudian, operasi perusahaan sesuai bidangnya, yakni peti kemas, non peti kemas, penyediaan peralatan, penyediaan IT, dan sebagainya, tapi dalam satu kepemilikan Pelindo.
"Kalau dalam satu kepemilikan, maka pemilik/holding ini bisa membuat strategi untuk seluruhnya, bisa memiliki kekuatan keuangan yag lebih memadai, dan pada akhirnya, ada satu standardisasi untuk seluruh pelabuhan di Indonesia," tambah Elvyn.
Dia yakin, adanya standardisasi, kekuatan keuangan, dan ada sistem opersional yang baik dalam manajemen kepelabuhan di Tanah Air akan meningkatkan daya saing Indonesia. Pada akhirnya, logistic cost Indonesia juga akan lebih murah. Tak Mudah Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G. Masassya.
Elvyn mengakui, konsep pelabuhan di Indonesia sebagai trade fasilitator, atau market place tersebut tidak akan mudah diwujudkan. Indonesia juga setidaknya butuh waktu 3-5 tahun ke depan untuk mencapainya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan tak pernah menyerah.
"Tentu, ini memang bukan pekerjaan yang sederhana. Saya membayangkan agar bisa mengimplementasikan utuh itu sekitar 3-5 tahun lagi dari sekarang," tegasnya. Alasannya, karena sistem tersebut harus diperjuangkan secara utuh dan harus bisa diterima dan dijalankan oleh semua pelaku dalam ekosistem.
"Dan, agar pelaku memahami itu, dia mungkin harus melakukan experience (pengalaman). Dan, experince ini kan tidak sekejap, tapi butuh setidaknya 3-5 tahun," ujar dia. Elvyn menyampaikan, di bisnis industri pelabuhan, experince akan menjadi fakta yang dirasakan. Sebagai contoh, misalnya dulu, Indonesia ekspor barang dari Semarang ke Amerika lewat Singapura.
"Nah, lalu, kita coba lewat Jakarta, lebih murah mana, ekspor lewat Singapura, atau Jakarta? Ternyata, kalau experience lebih murah lewat Jakarta, tentu dia akan terus lewat Jakarta," imbuhnya. Begitu juga, lanjut dia, dengan konsep trade fasilitator. Jika belum mencoba, pelaku usaha tentu belum tahu.
Tapi, kalau sudah mencoba dan lebih menguntungkan, hal tersebut akan berdampak kepada ekosistem secara menyeluruh. "Dan saya yakin, inilah sebenarnya konsep mengembangkan maritim Indonesia, yaitu me-linked antara kawasan industri, pelabuhan, dan pelayaran dalam trilogi maritim di mana sistemnya adalah trade fasilitator," ucapnya.
Kesepahaman Namun, Elvyn berpendapat, yang paling utama adalah perlunya kesepahaman pemikiran dari regulator dan para pelaku pengguna jasa dalam menjadikan pelabuhan sebagai trade fasilitator. Selain itu, dibutuhkan usaha ekstra keras (effort) untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman yang sama.
"Saya yakin, kalau regulator, player, para pengguna jasa, meyakini sebagai konsep dan dilaksanakan secara konsisten, disiplin, ekspektasi Indonesia menjadi poros maritim dunia, itu bukan mimpi," tutur dia. Elvyn mengaku, konsep itu secara prinsip sudah didiskusikan dengan Bappenas. Bappenas juga sudah memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Tapi, untuk mengeksekusinya, tak cukup hanya dengan Bappenas dan butuh dukungan kementerian lain. "Ada kementerian-kementerian lain yang harus bersedia untuk memahami, atau mang-accept ini, ataukah Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, dan lain sebagainya," pungkas dia.
Sumber :
https://investor.id/business/5-tahun-ke-depan-biaya-logistik-ri-berpotensi-turun-45
Sabtu, 7 Desember 2019 | 09:25 WIB
JAKARTA, investor.id -- Indonesia berpotensi bisa menurunkan biaya logistik (logistic cost) 4-5% dalam lima tahun ke depan. Proyeksi penurunan itu akan terjadi jika pelabuhan-pelabuhan Indonesia menerapkan konsep pelabuhan yang terintegrasi dan menjadi fasilitator perdagangan (trade fasilitator), atau market place.
"Tapi, saya yakin sekali, berdasarkan simulasi yang kami bikin, kalau ini terjadi, logistic cost kita akan turun 4-5% dalam 5 tahun mendatang," ungkap Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G Masassya, di sela peringatan HUT Pelindo II (IPC) ke-27 di Jakarta, Jumat (6/12) malam.
Dia menjabarkan, salah satu fungsi utama (main function) dari pelabuhan adalah bagaimana agar Indonesia ke depan punya daya saing. Sedangkan daya saing akan meningkat jika logistic cost bisa diturunkan dan rendah. "Dalam rangka mencapai logistic cost rendah, menurut hemat saya, menjadikan pelabuhan itu sebagai trade fasilitator.
Pelabuhan bukan hanya sebagai pelabuhan, tapi dia bisa mendukung perdagangan," bebernya. Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G. Masassya. Foto: Investor Daily/Primus Dorimulu Menurut Elvyn, sebagai trade fasilitator, pelabuhan pun harus dibuat terintegrasi dengan kawasan industri, sehingga distribusi barang dari kawasn industri lebih murah. Pelabuhan juga mesti terintegrasi dengan pelayaran, sehingga kapal- kapal yang membawa barang menjadi lebih gampang terhubung (linked) dengan pelabuhan tersebut.
"Nah, semua itu tadi baru akan terjadi kalau kita menerapkan konsep pelabuhan sebagai trade fasilitator, di mana pemilik barang, pengelola transportasi, pelabuhan, dan pemilik kapal ada dalam satu platform.Platform inilah yang kita sebut sebagai trade fasilitator, atau market place," jelasnya.
Dengan cara tersebut, semua pengguna jasa, apakah eksportir maupun importir akan mendapatkan kebutuhannya dengan secara cepat dan lebih transparan. Mereka pun membutuhkan kapal, pergudangan, dan transportasi di satu pelabuhan. Jika semua itu bisa dilakukan, lanjut dia, logistic cost Indonesia akan bisa turun dan produk-produk Indonesia akan punya daya saing lebih tinggi. Karena, biaya ekspornya lebih murah, lebih cepat sampai, dan lebih mudah dimonitor dari sejak dikirimkan sampai ke tempat tujuan.
"Nah, saya pikir ini akan menjadi relevan, kalau konsep ini diterapkan kepada seluruh Pelindo. Artinya, Pelindo yang sekarang tidak dipisahkan lagi berdasarkan regionalnya, tapi berdasarkan fungsi-fungsinya," tuturnya.
Ke depan, idealnya pun hanya ada satu Pelindo sebagai perusahaan BUMN pengelola pelabuhan di Indonesia. Kemudian, operasi perusahaan sesuai bidangnya, yakni peti kemas, non peti kemas, penyediaan peralatan, penyediaan IT, dan sebagainya, tapi dalam satu kepemilikan Pelindo.
"Kalau dalam satu kepemilikan, maka pemilik/holding ini bisa membuat strategi untuk seluruhnya, bisa memiliki kekuatan keuangan yag lebih memadai, dan pada akhirnya, ada satu standardisasi untuk seluruh pelabuhan di Indonesia," tambah Elvyn.
Dia yakin, adanya standardisasi, kekuatan keuangan, dan ada sistem opersional yang baik dalam manajemen kepelabuhan di Tanah Air akan meningkatkan daya saing Indonesia. Pada akhirnya, logistic cost Indonesia juga akan lebih murah. Tak Mudah Dirut PT Pelindo II (IPC) Elvyn G. Masassya.
Elvyn mengakui, konsep pelabuhan di Indonesia sebagai trade fasilitator, atau market place tersebut tidak akan mudah diwujudkan. Indonesia juga setidaknya butuh waktu 3-5 tahun ke depan untuk mencapainya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan tak pernah menyerah.
"Tentu, ini memang bukan pekerjaan yang sederhana. Saya membayangkan agar bisa mengimplementasikan utuh itu sekitar 3-5 tahun lagi dari sekarang," tegasnya. Alasannya, karena sistem tersebut harus diperjuangkan secara utuh dan harus bisa diterima dan dijalankan oleh semua pelaku dalam ekosistem.
"Dan, agar pelaku memahami itu, dia mungkin harus melakukan experience (pengalaman). Dan, experince ini kan tidak sekejap, tapi butuh setidaknya 3-5 tahun," ujar dia. Elvyn menyampaikan, di bisnis industri pelabuhan, experince akan menjadi fakta yang dirasakan. Sebagai contoh, misalnya dulu, Indonesia ekspor barang dari Semarang ke Amerika lewat Singapura.
"Nah, lalu, kita coba lewat Jakarta, lebih murah mana, ekspor lewat Singapura, atau Jakarta? Ternyata, kalau experience lebih murah lewat Jakarta, tentu dia akan terus lewat Jakarta," imbuhnya. Begitu juga, lanjut dia, dengan konsep trade fasilitator. Jika belum mencoba, pelaku usaha tentu belum tahu.
Tapi, kalau sudah mencoba dan lebih menguntungkan, hal tersebut akan berdampak kepada ekosistem secara menyeluruh. "Dan saya yakin, inilah sebenarnya konsep mengembangkan maritim Indonesia, yaitu me-linked antara kawasan industri, pelabuhan, dan pelayaran dalam trilogi maritim di mana sistemnya adalah trade fasilitator," ucapnya.
Kesepahaman Namun, Elvyn berpendapat, yang paling utama adalah perlunya kesepahaman pemikiran dari regulator dan para pelaku pengguna jasa dalam menjadikan pelabuhan sebagai trade fasilitator. Selain itu, dibutuhkan usaha ekstra keras (effort) untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman yang sama.
"Saya yakin, kalau regulator, player, para pengguna jasa, meyakini sebagai konsep dan dilaksanakan secara konsisten, disiplin, ekspektasi Indonesia menjadi poros maritim dunia, itu bukan mimpi," tutur dia. Elvyn mengaku, konsep itu secara prinsip sudah didiskusikan dengan Bappenas. Bappenas juga sudah memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Tapi, untuk mengeksekusinya, tak cukup hanya dengan Bappenas dan butuh dukungan kementerian lain. "Ada kementerian-kementerian lain yang harus bersedia untuk memahami, atau mang-accept ini, ataukah Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, dan lain sebagainya," pungkas dia.
Sumber :
https://investor.id/business/5-tahun-ke-depan-biaya-logistik-ri-berpotensi-turun-45
Thursday, December 5, 2019
Ongkos Logistik di Batam masih Mahal
Kamis, 5 Desember 2019 - 10:52 WIB
batampos.co.id – Dari tahun ke tahun, pengusaha di Batam mengeluhkan masalah logistik yang masih mahal. Hal itu menjadi salah satu penghambat investasi.
”Sampai saat ini memang belum kita rasakan penurunan yang signifikan dari biaya logistik keluar Batam. Kalau alasannya masih menunggu upgrading fasilitas Pelabuhan Batuampar, kita bisa memahaminya. Namun, jangan sampai terlalu lama karena mahalnya ongkos angkut kontainer yang sangat mahal ini menjadi salah satu faktor peng-hambat investasi untuk masuk ke Batam,” kata ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid, Selasa (3/12/2019).
Pengusaha, kata Rafki, sangat berharap dari Kepala BP Batam yang baru agar melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasional Pelabuhan Batuampar ini.
”Menurut saya selain skala ekonomi dan peralatan yang kurang memadai, pengelolaan yang tidak efisien bisa menjadi faktor yang menyebabkan mahalnya ongkos kontainer dari Batam ini,” terangnya.
”Para pejabat lama yang ada di Pelabuhan Batuampar sebaiknya dievaluasi lagi untuk penyegaran. Mana pejabat yang berkomitmen membuat operasional Pelabuhan Batuampar lebih efisien, itu yang dipilih. Jadi, dalam jangka pendek inilah menurut saya yang bisa dilakukan oleh BP Batam. Sambil dalam jangka panjang melakukan perbaikan fasilitas Pelabuhan Batuampar,” ungkapnya lagi.
Seorang pekerja sedang memindahkan kontainer di Pelabuhan Batuampar, beberapa waktu lalu. Ongkos logistik yang masih mahal masih dikeluhkan oleh pengusaha.
Rafki menegaskan bahwa masalah mahalnya ongkos kontainer ini harus benar benar diselidiki dan dikaji secara mendalam dan dibuatkan solusi jangka pendek dan jangka panjangnya.
Sedangkan Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, Tjaw Hoeing, sebelumnya meminta agar Pelabuhan Batuampar harus dibangun sebagai pelabuhan pintar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kelancaran sistem logistik di Batam.
Untuk menjadi smart port, banyak konsep dan infrastruktur yang harus diterapkan dan dibangun. Namun, yang paling penting adalah penerapan gerbang otomatis dan aplikasi pembayaran elektronik seperti e-billing atau e-payment.
“Penerapan jasa pembayaran online itu dapat meningkatkan pelayanan di pelabuhan. Pe-ngusaha akan semakin nyaman berinvestasi dan memasukkan barangnya ke Batam,” ungkapnya.
Keberadaan gerbang otomatis diyakini akan mempermudah pengguna jasa pelabuhan mengatur kegiatan logistik hanya melalui smartphone. Sedangkan BP Batam sendiri baru memulai tahapan pengembangan Batuampar lewat pengerukan alur laut dan pembongkaran gudang bekas milik Persero Batam.
Sementara itu, Badan Pengu-sahaan (BP) Batam akan membongkar gudang milik Persero di Dermaga Utara. Nantinya, bekas gudang ini akan menjadi akses menuju container yard (CY) atau area penyimpanan kontainer yang akan segera dibangun.
”Sudah mulai dari hari ini (kemarin) dibongkar. Nanti dalam waktu dua minggu akan kelar. Pembongkaran ini untuk mempersiapkan lahan seluas 10 hektare yang akan digunakan untuk membangun CY,” kata Direktur Promosi dan Humas BP Batam, Dendi Gustinandar, belum lama ini.
CY ini nanti akan memiliki luas 12 hektare yang terdiri dari lahan bekas gudang Persero dan juga reklamasi di sekitar pelabuhan.
”Ada tiga gudang yang dibongkar. Dan pembongkaran ini merupakan tahap awal revitalisasi Pelabuhan Batuampar,” ungkapnya.
Sumber :
https://batampos.co.id/2019/12/05/ongkos-logistik-di-batam-masih-mahal/
Sumber foto :
http://sungistix.com/5-intelligent-ways-to-cut-down-your-logistics-cost/
Tuesday, December 3, 2019
Sektor Logistik Tahun 2020, Pertumbuhan dan Tantangan
December 3, 2019
JMOL. Sektor logistik, yang mencakup transportasi dan pergudangan, diprediksi akan tumbuh sebesar 9,18 persen di tahun 2020. Menurun dari pertumbuhan sektor tersebut di tahun ini (2019) yang sebesar 11,56 persen. Demikian menurut Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia(SCI) dalam rilisnya yang diterima redaksi pagi ini (3/12).
Perkembangan sektor logistik Indonesia dipengaruhi berbagai faktor, yaitu jumlah penduduk yang besar (sekitar 267 juta jiwa), tingkat pertumbuhan ekonomi (sekitar 5,3 persen), wilayah yang luas sekitar 1,9 juta km2, bentuk geografis kepulauan dengan 17.504 pulau, serta keragaman komoditas dan budaya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi lapangan usaha sektor logistik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II/ 2019 adalah sebesar Rp 220,6 triliun atau 5,57 persen dari PDB yang bernilai Rp 3.963,5 triliun.
Berdasarkan analisis SCI, sektor logistik sepanjang tahun 2019 diprediksi tumbuh sebesar 11,56 persen menjadi Rp 889,4 triliun, dan pada tahun 2020 tumbuh sebesar 9,18 persen dengan nilai Rp 971 triliun. Darinya, subsektor transportasi akan tumbuh sebesar 8,97 persen (Rp 806,8 triliun) dan subsektor pergudangan tumbuh sebesar 9.8 persen (Rp 161,9 triliun).
E-commerce
Perkembangan e-commerce menjadi faktor pendorong pertumbuhan logistik Indonesia.
“Pengaruh signifikannya dapat dilihat dari pertumbuhan volume transportasi udara sebagai moda yang paling banyak digunakan untuk e-commerce”, jelas Setijadi.
Kontribusi transportasi udara terhadap PDB meningkat dari 35,90 persen pada 2017 menjadi 36,10 persen pada 2018. SCI memprediksi kontribusi itu pada 2019 akan mencapai 38,12 persen, dan pada tahun 2020 mencapai 39,25 persen, dengan nilai sebesar Rp 316,7 triliun.
Tantangan Logistik 2020
Tantangan sektor logistik Indonesia termasuk pada tahun 2020 antara lain kebutuhan penanganan terhadap barang kebutuhan pokok yang sebagian besar komoditasnya bersifat perishable, musiman, dan rantai distribusi yang panjang. Selain itu, tantangan lainnya adalah ketersebaran produksi dan skala ekonomi, serta kontinuitas, kualitas, dan ketertelusuran yang kurang terjamin
Tantangan lainnya adalah pemahaman para pelaku terhadap SCM, integrasi para pelaku usaha dan pihak terkait, infrastruktur belum memadai, serta data dan sistem informasi logistik yang belum terintegrasi.
Sektor logistik Indonesia juga belum mempunyai atau menerapkan standardisasi, baik untuk transportasi dan pergudangan. Standardisasi yang dimaksud di atas mencakup pada proses, teknologi, dan personil. Pada aspek personil, misalnya, personil (bekerja di perusahaan jasa logistik) yang bersertifikasi Supply Chain Manager (Kepmenaker No. 94 Tahun 2019), masih sangat sedikit, yaitu baru sekitar 100 orang. Standardisasi diperlukan untuk efisiensi logistik dan menjadi syarat penerapan digitalisasi dalam proses-proses logistik.
Berkaitan dengan infrastruktur, tantangan yang dihadapi berkaitan dengan upaya peningkatan konektivitas nasional karena tuntutan terhadap infrastruktur tidak hanya mengenai kualitas, tetapi juga kapasitas dan konektivitas. Oleh karena itu, aktivitas logistik memerlukan infrastruktur yang mampu menjadi backbone operasi transportasi yang efisien dengan kualitas yang baik.
‘Perlu pembangunan infrastruktur secara terintegrasi, baik antar moda transportasi maupun antar wilayah, sehingga lebih menjamin efektivitas pemanfaatannya”, tutup Setijadi.
Sumber :
https://jurnalmaritim.com/sektor-logistik-tahun-2020-pertumbuhan-dan-tantangan/
JMOL. Sektor logistik, yang mencakup transportasi dan pergudangan, diprediksi akan tumbuh sebesar 9,18 persen di tahun 2020. Menurun dari pertumbuhan sektor tersebut di tahun ini (2019) yang sebesar 11,56 persen. Demikian menurut Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia(SCI) dalam rilisnya yang diterima redaksi pagi ini (3/12).
Perkembangan sektor logistik Indonesia dipengaruhi berbagai faktor, yaitu jumlah penduduk yang besar (sekitar 267 juta jiwa), tingkat pertumbuhan ekonomi (sekitar 5,3 persen), wilayah yang luas sekitar 1,9 juta km2, bentuk geografis kepulauan dengan 17.504 pulau, serta keragaman komoditas dan budaya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi lapangan usaha sektor logistik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II/ 2019 adalah sebesar Rp 220,6 triliun atau 5,57 persen dari PDB yang bernilai Rp 3.963,5 triliun.
Berdasarkan analisis SCI, sektor logistik sepanjang tahun 2019 diprediksi tumbuh sebesar 11,56 persen menjadi Rp 889,4 triliun, dan pada tahun 2020 tumbuh sebesar 9,18 persen dengan nilai Rp 971 triliun. Darinya, subsektor transportasi akan tumbuh sebesar 8,97 persen (Rp 806,8 triliun) dan subsektor pergudangan tumbuh sebesar 9.8 persen (Rp 161,9 triliun).
E-commerce
Perkembangan e-commerce menjadi faktor pendorong pertumbuhan logistik Indonesia.
“Pengaruh signifikannya dapat dilihat dari pertumbuhan volume transportasi udara sebagai moda yang paling banyak digunakan untuk e-commerce”, jelas Setijadi.
Kontribusi transportasi udara terhadap PDB meningkat dari 35,90 persen pada 2017 menjadi 36,10 persen pada 2018. SCI memprediksi kontribusi itu pada 2019 akan mencapai 38,12 persen, dan pada tahun 2020 mencapai 39,25 persen, dengan nilai sebesar Rp 316,7 triliun.
Tantangan Logistik 2020
Tantangan sektor logistik Indonesia termasuk pada tahun 2020 antara lain kebutuhan penanganan terhadap barang kebutuhan pokok yang sebagian besar komoditasnya bersifat perishable, musiman, dan rantai distribusi yang panjang. Selain itu, tantangan lainnya adalah ketersebaran produksi dan skala ekonomi, serta kontinuitas, kualitas, dan ketertelusuran yang kurang terjamin
Tantangan lainnya adalah pemahaman para pelaku terhadap SCM, integrasi para pelaku usaha dan pihak terkait, infrastruktur belum memadai, serta data dan sistem informasi logistik yang belum terintegrasi.
Sektor logistik Indonesia juga belum mempunyai atau menerapkan standardisasi, baik untuk transportasi dan pergudangan. Standardisasi yang dimaksud di atas mencakup pada proses, teknologi, dan personil. Pada aspek personil, misalnya, personil (bekerja di perusahaan jasa logistik) yang bersertifikasi Supply Chain Manager (Kepmenaker No. 94 Tahun 2019), masih sangat sedikit, yaitu baru sekitar 100 orang. Standardisasi diperlukan untuk efisiensi logistik dan menjadi syarat penerapan digitalisasi dalam proses-proses logistik.
Berkaitan dengan infrastruktur, tantangan yang dihadapi berkaitan dengan upaya peningkatan konektivitas nasional karena tuntutan terhadap infrastruktur tidak hanya mengenai kualitas, tetapi juga kapasitas dan konektivitas. Oleh karena itu, aktivitas logistik memerlukan infrastruktur yang mampu menjadi backbone operasi transportasi yang efisien dengan kualitas yang baik.
‘Perlu pembangunan infrastruktur secara terintegrasi, baik antar moda transportasi maupun antar wilayah, sehingga lebih menjamin efektivitas pemanfaatannya”, tutup Setijadi.
Sumber :
https://jurnalmaritim.com/sektor-logistik-tahun-2020-pertumbuhan-dan-tantangan/
Wednesday, November 27, 2019
Tak Efisien dan Mahal, Sektor Logistik Indonesia Tertinggal di ASEAN
Arif Budianto
Rabu, 27 November 2019 - 14:50 WIB
Info grafis indeks performa kinerja bisnis logistik di Indonesia. Foto/SINDOnews/Dok
BANDUNG - Sektor logistik di Indonesia dalam 5 tahun terakhir, dinilai belum efisien, ditandai dengan biaya logistik masih cukup tinggi. Bahkan, bila dibandingkan negara ASEAN, sektor logistik Indonesia terus tertinggal.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan, berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) pada 2018, kinerja sektor logistik Indonesia tak hanya tertinggal oleh Singapura, Thailand, dan Malaysia, tetapi juga Vietnam.
Menurut dia, diperlukan pembenahan sektor logistik Indonesia. Untuk meningkatan efisiensi dan kinerja, perlu dilakukan pembenahan fundamental. Sebab, sektor logistik Indonesia menghadapi tantangan memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, penguatan struktur industri, serta peningkatan daya saing produk dan komoditas.
"Sektor logistik Indonesia yang multistakeholder setidaknya membutuhkan figur pimpinan dengan kemampuan memadai untuk mengkoordinasikan para pihak terkait dari sejumlah kementerian atau lembaga dan badan usaha dari berbagai sektor, hingga pemerintah daerah," kata Setijadi, Rabu (27/11/2019).
Selain harus mempunyai integritas tinggi, figur tersebut harus terbuka menerima pandangan dan pemikiran dari berbagai pihak. Termasuk dari para pelaku usaha serta lembaga penelitian dan pengembangan sektor logistik.
Pandangan dan pemikiran itu, ujar dia, sangat penting sebagai masukan dalam perbaikan dan pengembangan sistem logistik yang sangat dinamis.
Sosok tersebut juga harus independen dan tidak terafiliasi dengan pihak-pihak lain. Misalnya asosiasi atau lembaga tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
"Program pembangunan logistik sangat diperlukan juga untuk menghadapi berbagai tantangan pada saat ini dan masa depan dalam bentuk digitalisasi, sharing economy, internet of things, cloud logistics, dan blockchain," ujar dia.
Menurut dia, SCI merekomendasikan koordinasi sektor logistik dipegang oleh pejabat eselon I. Caranya, pemerintah membentuk lembaga logistik permanen dalam bentuk badan logistik nasional dan regulasi yang kuat agar perencanaan dan implementasi pengembangan sektor logistik lebih efektif.
Sumber :
https://jabar.sindonews.com/read/12459/1/tak-efisien-dan-mahal-sektor-logistik-indonesia-tertinggal-di-asean-1574838670
Rabu, 27 November 2019 - 14:50 WIB
Info grafis indeks performa kinerja bisnis logistik di Indonesia. Foto/SINDOnews/Dok
BANDUNG - Sektor logistik di Indonesia dalam 5 tahun terakhir, dinilai belum efisien, ditandai dengan biaya logistik masih cukup tinggi. Bahkan, bila dibandingkan negara ASEAN, sektor logistik Indonesia terus tertinggal.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan, berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) pada 2018, kinerja sektor logistik Indonesia tak hanya tertinggal oleh Singapura, Thailand, dan Malaysia, tetapi juga Vietnam.
Menurut dia, diperlukan pembenahan sektor logistik Indonesia. Untuk meningkatan efisiensi dan kinerja, perlu dilakukan pembenahan fundamental. Sebab, sektor logistik Indonesia menghadapi tantangan memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, penguatan struktur industri, serta peningkatan daya saing produk dan komoditas.
"Sektor logistik Indonesia yang multistakeholder setidaknya membutuhkan figur pimpinan dengan kemampuan memadai untuk mengkoordinasikan para pihak terkait dari sejumlah kementerian atau lembaga dan badan usaha dari berbagai sektor, hingga pemerintah daerah," kata Setijadi, Rabu (27/11/2019).
Selain harus mempunyai integritas tinggi, figur tersebut harus terbuka menerima pandangan dan pemikiran dari berbagai pihak. Termasuk dari para pelaku usaha serta lembaga penelitian dan pengembangan sektor logistik.
Pandangan dan pemikiran itu, ujar dia, sangat penting sebagai masukan dalam perbaikan dan pengembangan sistem logistik yang sangat dinamis.
Sosok tersebut juga harus independen dan tidak terafiliasi dengan pihak-pihak lain. Misalnya asosiasi atau lembaga tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
"Program pembangunan logistik sangat diperlukan juga untuk menghadapi berbagai tantangan pada saat ini dan masa depan dalam bentuk digitalisasi, sharing economy, internet of things, cloud logistics, dan blockchain," ujar dia.
Menurut dia, SCI merekomendasikan koordinasi sektor logistik dipegang oleh pejabat eselon I. Caranya, pemerintah membentuk lembaga logistik permanen dalam bentuk badan logistik nasional dan regulasi yang kuat agar perencanaan dan implementasi pengembangan sektor logistik lebih efektif.
Sumber :
https://jabar.sindonews.com/read/12459/1/tak-efisien-dan-mahal-sektor-logistik-indonesia-tertinggal-di-asean-1574838670
Tuesday, November 19, 2019
Bea dan Cukai Bangun Platform Logistik Nasional
Bea dan Cukai Bangun Platform Logistik Nasional, Ini Detailnya
Platform itu dapat mempertemukan komunitas logistik di sektor permintaan yang kini sudah ada di CEISA yaitu importir/eksportir dengan komunitas logistik di sektor supply yaitu penyedia jasa logistik.
Rinaldi Mohammad AzkaRinaldi Mohammad Azka - Bisnis.com
19 November 2019 | 06:18 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tengah mengembangkan National Logistic Ecosystem (NLE) menjadi platform yang mempertemukan komunitas logistik antara sektor permintaan dan penawaran.
Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeua) Deni Sujantoro menuturkan melalui sistem CEISA (Customs Excise Information System and Automation) 4.0 sedang mengembangkan National Logistic Ecosistem (NLE).
Platform tersebut dapat mempertemukan komunitas logistik di sektor permintaan yang kini sudah ada di CEISA yaitu importir/eksportir dengan komunitas logistik di sektor supply yaitu penyedia jasa logistik.
"Dengan konsep Colaboration Application Programming Interface [API] semua platform logistik seperti trucking, warehousing, shipping, forwarder, baik domestik maupun global dapat bergabung untuk dapat sharing informasi," paparnya kepada Bisnis.com, Senin (18/11/2019).
Menurutnya, CEISA NLE memfasilitasi importir dan eksportir dapat melihat dan memilih harga dan kualitas atas ketersediaan truck, vessel, warehouse dalam satu aplikasi.
Pada era baru ini, jelasnya, kolaborasi menjadi kata kuncinya, konektivitas digital yang semakin lancar dari end to end tanpa ada intervensi proses manual adalah cita-cita dari semua pihak baik dari sektor swasta dan sektor pemerintah.
"Dengan pendekatan kolaborasi dapat memastikan integrasi antarsektor dapat terjalin tanpa mematikan atau menghilangkan sistem yang sudah ada di masing-masing sektor," tuturnya.
Teknologi Open API, jelasnya, yang membuat konsep kolaborasi ini dapat diwujudkan saat ini. Saat ini CEISA NLE dalam proses integrasi dengan salah satu platform shipping global yaitu TradeLanes Blockchain dan salah satu platform logistik dalam negeri yang bergerak di bidang trucking dan shipping.
"Harapannya ke depan platform logisitik lainya dapat ikut menyusul bergabung. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan sistem logistik di Indonesia yang efisien, transparan, dan terintegrasi dari end to end dapat segera terwujud," ujarnya.
Lebih lanjut, dia berharap dengan adanya platform tersebut, daya saing global 4.0 Indonesia meningkat serta Logistik Performance Index Indonesia semakin baik.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191119/98/1171792/bea-dan-cukai-bangun-platform-logistik-nasional-ini-detailnya
Platform itu dapat mempertemukan komunitas logistik di sektor permintaan yang kini sudah ada di CEISA yaitu importir/eksportir dengan komunitas logistik di sektor supply yaitu penyedia jasa logistik.
Rinaldi Mohammad AzkaRinaldi Mohammad Azka - Bisnis.com
19 November 2019 | 06:18 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tengah mengembangkan National Logistic Ecosystem (NLE) menjadi platform yang mempertemukan komunitas logistik antara sektor permintaan dan penawaran.
Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeua) Deni Sujantoro menuturkan melalui sistem CEISA (Customs Excise Information System and Automation) 4.0 sedang mengembangkan National Logistic Ecosistem (NLE).
Platform tersebut dapat mempertemukan komunitas logistik di sektor permintaan yang kini sudah ada di CEISA yaitu importir/eksportir dengan komunitas logistik di sektor supply yaitu penyedia jasa logistik.
"Dengan konsep Colaboration Application Programming Interface [API] semua platform logistik seperti trucking, warehousing, shipping, forwarder, baik domestik maupun global dapat bergabung untuk dapat sharing informasi," paparnya kepada Bisnis.com, Senin (18/11/2019).
Menurutnya, CEISA NLE memfasilitasi importir dan eksportir dapat melihat dan memilih harga dan kualitas atas ketersediaan truck, vessel, warehouse dalam satu aplikasi.
Pada era baru ini, jelasnya, kolaborasi menjadi kata kuncinya, konektivitas digital yang semakin lancar dari end to end tanpa ada intervensi proses manual adalah cita-cita dari semua pihak baik dari sektor swasta dan sektor pemerintah.
"Dengan pendekatan kolaborasi dapat memastikan integrasi antarsektor dapat terjalin tanpa mematikan atau menghilangkan sistem yang sudah ada di masing-masing sektor," tuturnya.
Teknologi Open API, jelasnya, yang membuat konsep kolaborasi ini dapat diwujudkan saat ini. Saat ini CEISA NLE dalam proses integrasi dengan salah satu platform shipping global yaitu TradeLanes Blockchain dan salah satu platform logistik dalam negeri yang bergerak di bidang trucking dan shipping.
"Harapannya ke depan platform logisitik lainya dapat ikut menyusul bergabung. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan sistem logistik di Indonesia yang efisien, transparan, dan terintegrasi dari end to end dapat segera terwujud," ujarnya.
Lebih lanjut, dia berharap dengan adanya platform tersebut, daya saing global 4.0 Indonesia meningkat serta Logistik Performance Index Indonesia semakin baik.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191119/98/1171792/bea-dan-cukai-bangun-platform-logistik-nasional-ini-detailnya
Monday, November 18, 2019
Masuki Industri 4.0, Pelni Akan Luncurkan Aplikasi Logistik Awal 2020
Michelle Natalia
Senin, 18 November 2019 - 01:11 WIB
Manajemen Pelni memberikan penjelasan soal aplikasi logistik untuk memberi layanan door to door kepada konsumen. Foto/SINDOnews/Michelle Natalia
LEMBANG - Dalam upaya mewujudkan pelayanan yang maksimal kepada konsumen, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero), atau dikenal sebagai Pelni, akan meluncurkan aplikasi logistik digital di bulan Januari 2020. Ini merupakan salah satu langkah Pelni untuk mewujudkan visi tambahan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020-2024.
"Visi kami nanti, bukan hanya unggul di bidang pelayaran, tetapi juga menjadi logistik maritim terkemuka di Asia Tenggara. Untuk itu, kami perlu memberikan layanan door to door kepada konsumen melalui aplikasi yang telah kami kembangkan selama dua tahun terakhir," ujar Direktur Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni, Harry Boediarto di Lembang, Minggu (17/11/2019).
Ia mengatakan dengan teknologi dan ekonomi digital yang berkembang pesat saat ini, tuntutan konsumen agar proses logistik menjadi lebih mudah.
"Masyarakat saat ini ingin semua barang bisa langsung dikirim ke depan pintu rumahnya, oleh karena itu, kami mengimplementasikan new bill of lading untuk aplikasi layanan door to door tersebut," lanjut Harry.
Harry menjelaskan bahwa aplikasi tersebut akan mengakomodasi kepentingan konsumen dan publik. Selain itu, aplikasi tersebut juga akan memberikan konektivitas setelah turun dari kapal, bersifat open source dengan bekerja sama dengan berbagai mitra angkutan darat.
Saat ini, Pelni sudah menggandeng PT Kereta Api Logistik (Kalog) dan PT Pos Indonesia untuk memaksimalkan layanan logistik, namun tidak menutup kemungkinan Pelni juga akan menggandeng mitra lainnya, baik dari BUMN maupun swasta.
"Kami memang hanya memberikan layanan pelayaran, tetapi aplikasi tersebut mengintegrasikan peran-peran lainnya. Proses pembuatannya memakan waktu lama karena kami juga masih melihat business process yang ada, kami harus mempersiapkan sistem dari hulu ke hilir," terangnya.
Harry menuturkan untuk hal ticketing, pihaknya masih mengalami kesulitan dalam kerjasama dengan perbankan. Untuk saat ini, tiket bisa dipesan di 162 dan dibayar melalui BRI, Alfamart, Indomaret, atau di kantor pos. "Namun, kami masih tetap mengejar supaya masyarakat bisa menggunakan opsi e-payment atau jasa travel online nantinya."
Sumber :
https://ekbis.sindonews.com/read/1459734/34/masuki-industri-40-pelni-akan-luncurkan-aplikasi-logistik-awal-2020-1574004147
Senin, 18 November 2019 - 01:11 WIB
Manajemen Pelni memberikan penjelasan soal aplikasi logistik untuk memberi layanan door to door kepada konsumen. Foto/SINDOnews/Michelle Natalia
LEMBANG - Dalam upaya mewujudkan pelayanan yang maksimal kepada konsumen, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero), atau dikenal sebagai Pelni, akan meluncurkan aplikasi logistik digital di bulan Januari 2020. Ini merupakan salah satu langkah Pelni untuk mewujudkan visi tambahan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020-2024.
"Visi kami nanti, bukan hanya unggul di bidang pelayaran, tetapi juga menjadi logistik maritim terkemuka di Asia Tenggara. Untuk itu, kami perlu memberikan layanan door to door kepada konsumen melalui aplikasi yang telah kami kembangkan selama dua tahun terakhir," ujar Direktur Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni, Harry Boediarto di Lembang, Minggu (17/11/2019).
Ia mengatakan dengan teknologi dan ekonomi digital yang berkembang pesat saat ini, tuntutan konsumen agar proses logistik menjadi lebih mudah.
"Masyarakat saat ini ingin semua barang bisa langsung dikirim ke depan pintu rumahnya, oleh karena itu, kami mengimplementasikan new bill of lading untuk aplikasi layanan door to door tersebut," lanjut Harry.
Harry menjelaskan bahwa aplikasi tersebut akan mengakomodasi kepentingan konsumen dan publik. Selain itu, aplikasi tersebut juga akan memberikan konektivitas setelah turun dari kapal, bersifat open source dengan bekerja sama dengan berbagai mitra angkutan darat.
Saat ini, Pelni sudah menggandeng PT Kereta Api Logistik (Kalog) dan PT Pos Indonesia untuk memaksimalkan layanan logistik, namun tidak menutup kemungkinan Pelni juga akan menggandeng mitra lainnya, baik dari BUMN maupun swasta.
"Kami memang hanya memberikan layanan pelayaran, tetapi aplikasi tersebut mengintegrasikan peran-peran lainnya. Proses pembuatannya memakan waktu lama karena kami juga masih melihat business process yang ada, kami harus mempersiapkan sistem dari hulu ke hilir," terangnya.
Harry menuturkan untuk hal ticketing, pihaknya masih mengalami kesulitan dalam kerjasama dengan perbankan. Untuk saat ini, tiket bisa dipesan di 162 dan dibayar melalui BRI, Alfamart, Indomaret, atau di kantor pos. "Namun, kami masih tetap mengejar supaya masyarakat bisa menggunakan opsi e-payment atau jasa travel online nantinya."
Sumber :
https://ekbis.sindonews.com/read/1459734/34/masuki-industri-40-pelni-akan-luncurkan-aplikasi-logistik-awal-2020-1574004147
Friday, November 15, 2019
2020, Tol Laut Diintegrasikan dengan Platform Digital Jual Beli Barang
Pada awal 2020 pemerintah berencana mengintegrasikan program Tol Laut dengan platform digital yang melayani jasa pengiriman barang maupun jual beli barang antar pulau.
Peni WidartiPeni Widarti - Bisnis.com
15 November 2019 | 16:54 WIB
Bisnis.com, SURABAYA – Pada awal 2020 pemerintah berencana mengintegrasikan program Tol Laut dengan platform digital yang melayani jasa pengiriman barang maupun jual beli barang antar pulau.
Hasan Sadili, Kasi Tramper dan Pelayaran Rakyat Subdit Lalu Lintas dan Angkutan Laut Salam Negeri, Ditjen Perhubungan Laut, Kemenhub mengatakan keberadaan platform digital seperti Prahu Hub cukup membantu proses pengiriman barang ke Indonesia Timur. Hanya saja, selama ini Prahu Hub banyak melayani pengiriman komersial.
“Kalau untuk pengiriman barang yang subsidi, platform ini belum pernah. Makanya awal 2020 akan kami terapkan, setelah ini kami akan diskusi serius dengan pemilik platform untuk menginformasikan barang yang potensi di daerah-daerah timur,” jelasnya seusai Forum Bisnis Menguak Potensi Bisnis dan Masalah Logistik, Jumat (15/11/2019).
Dia mengakui, program Tol Laut selama 5 tahun ini sudah berjalan tetapi belum optimal. Salah satu tantangan dalam program ini cukup klasik, yakni kapal yang berangkat dari Jawa menuju timur Indonesia belum bisa terisi penuh, dan sebaliknya kapal yang kembali sedikit mengangkut barang.
Baca juga: Gusur Monopoli di Tol Laut, Menhub akan Libatkan Startup
“Bukan cuma muatan balik yang kosong, bahkan saat berangkat spacenya masih tersedia. Saat berangkat mengangkut 70%, waktu balik hanya di bawah 10%, paling banyak balik hanya 30 kontainer," ujarnya”
Menurutnya, kondisi tersebut terutama terjadi pada daerah terluar, terpencil, dan terisolasi yang memang menjadi tujuan Tol Laut. Apalagi di wilayah tersebut,masih ada hambatan IT sehingga barang/muatan yang potensial di setiap daerah itu tidak terinformasi dengan baik.
“Untuk itu, platform Prahu Hub sekarang sudah punya aplikasi namanya Produk Indo yang akan mempertemukan penjual dan pembeli. Ini akan kami sosialisasikan ke daerah tujuan Tol Laut, dan kami bekerja sama dengan Kemendes,” imbuhnya.
Adapun program Tol Laut tahun ini tercatat ada 20 trayek. Hingga November 2019, realisasi muatan barang melalui program ini baru mencapai 70% dari target 300.000 ton. Rencananya pada 2020, trayek Tol Laut akan ditambah menjadi 21 sampai 24 trayek.
Founder Prahu Hub, Benny Sukamto menambahkan baru-baru ini Prahu Hub mengembangkan platform Produk Indo yang menjembatani proses jual beli barang dalam jumlah besar sehingga ada kepastian muatan kapal pada saat pengiriman.
“Produk Indo ini sudah dilaunching 3 bulan lalu, dan yang sudah masuk itu seperti Indofood yang kelasnya gede, mereka melakukan pengiriman ke timur Indonesia,” katanya.
Benny mengatakan pihaknya akan melakukan promosi dan sosialisasi ke daerah-daerah yang memiliki komoditas potensial untuk dikirim ke Jawa sebagai bahan baku industri, misalnya seperti kopra, cengkeh atau lada.
“Dengan begitu, kapal dari Jawa mengangkut barang seperti produk makanan jadi, ataupun bahan makanan, serta bahan bangunan, dan saat kapal kembali ke Jawa bisa mengangkut komoditas daerah tersebut,” imbuhnya.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191115/98/1170838/2020-tol-laut-diintegrasikan-dengan-platform-digital-jual-beli-barang
Peni WidartiPeni Widarti - Bisnis.com
15 November 2019 | 16:54 WIB
Bisnis.com, SURABAYA – Pada awal 2020 pemerintah berencana mengintegrasikan program Tol Laut dengan platform digital yang melayani jasa pengiriman barang maupun jual beli barang antar pulau.
Hasan Sadili, Kasi Tramper dan Pelayaran Rakyat Subdit Lalu Lintas dan Angkutan Laut Salam Negeri, Ditjen Perhubungan Laut, Kemenhub mengatakan keberadaan platform digital seperti Prahu Hub cukup membantu proses pengiriman barang ke Indonesia Timur. Hanya saja, selama ini Prahu Hub banyak melayani pengiriman komersial.
“Kalau untuk pengiriman barang yang subsidi, platform ini belum pernah. Makanya awal 2020 akan kami terapkan, setelah ini kami akan diskusi serius dengan pemilik platform untuk menginformasikan barang yang potensi di daerah-daerah timur,” jelasnya seusai Forum Bisnis Menguak Potensi Bisnis dan Masalah Logistik, Jumat (15/11/2019).
Dia mengakui, program Tol Laut selama 5 tahun ini sudah berjalan tetapi belum optimal. Salah satu tantangan dalam program ini cukup klasik, yakni kapal yang berangkat dari Jawa menuju timur Indonesia belum bisa terisi penuh, dan sebaliknya kapal yang kembali sedikit mengangkut barang.
Baca juga: Gusur Monopoli di Tol Laut, Menhub akan Libatkan Startup
“Bukan cuma muatan balik yang kosong, bahkan saat berangkat spacenya masih tersedia. Saat berangkat mengangkut 70%, waktu balik hanya di bawah 10%, paling banyak balik hanya 30 kontainer," ujarnya”
Menurutnya, kondisi tersebut terutama terjadi pada daerah terluar, terpencil, dan terisolasi yang memang menjadi tujuan Tol Laut. Apalagi di wilayah tersebut,masih ada hambatan IT sehingga barang/muatan yang potensial di setiap daerah itu tidak terinformasi dengan baik.
“Untuk itu, platform Prahu Hub sekarang sudah punya aplikasi namanya Produk Indo yang akan mempertemukan penjual dan pembeli. Ini akan kami sosialisasikan ke daerah tujuan Tol Laut, dan kami bekerja sama dengan Kemendes,” imbuhnya.
Adapun program Tol Laut tahun ini tercatat ada 20 trayek. Hingga November 2019, realisasi muatan barang melalui program ini baru mencapai 70% dari target 300.000 ton. Rencananya pada 2020, trayek Tol Laut akan ditambah menjadi 21 sampai 24 trayek.
Founder Prahu Hub, Benny Sukamto menambahkan baru-baru ini Prahu Hub mengembangkan platform Produk Indo yang menjembatani proses jual beli barang dalam jumlah besar sehingga ada kepastian muatan kapal pada saat pengiriman.
“Produk Indo ini sudah dilaunching 3 bulan lalu, dan yang sudah masuk itu seperti Indofood yang kelasnya gede, mereka melakukan pengiriman ke timur Indonesia,” katanya.
Benny mengatakan pihaknya akan melakukan promosi dan sosialisasi ke daerah-daerah yang memiliki komoditas potensial untuk dikirim ke Jawa sebagai bahan baku industri, misalnya seperti kopra, cengkeh atau lada.
“Dengan begitu, kapal dari Jawa mengangkut barang seperti produk makanan jadi, ataupun bahan makanan, serta bahan bangunan, dan saat kapal kembali ke Jawa bisa mengangkut komoditas daerah tersebut,” imbuhnya.
Sumber :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191115/98/1170838/2020-tol-laut-diintegrasikan-dengan-platform-digital-jual-beli-barang
Wednesday, November 6, 2019
Pengusaha Logistik hingga Pertambangan Mulai Terapkan Teknologi Blockchain
Taufik Fajar, Jurnalis ·
Rabu 06 November 2019 14:16 WIB
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan pemanfaatan teknologi blockchain terus mengalami pertumbuhan. Terlihat beberapa perusahaan sudah mulai menggunakan blockchain sebagai basis teknologi di berbagai sektor usaha seperti bidang logistik, rantai pasok, perbankan dan finansial, layanan publik, pertanian, pertambangan dan lainnya.
"Teknologi blockchain merupakan tren global yang akan berdampak besar bagi keberlangsungan bisnis kedepan, maka peluang besar ini harus kita raih," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik Rico Rustombi, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurut Rico, dalam ekonomi global, mereka yang dapat memanfaatkan sepenuhnya teknologi dan berinovasi dalam seluruh rantai nilai akan mendapatkan posisi terbaik dalam daya saing global.
"Pilihan kita beradaptasi atau mati. Siapkah perusahaan kita untuk menyambut manfaat implementasi blockchain yang makin nyata saat ini," tuturnya.
Blockchain
Sebagai tindak lanjut Global Blockchain Invesment Summit 2019 pada Juli 2019 lalu, Kadin Indonesia bekerjasama dengan Blockchain Asia Forum meluncurkan Blockchain Center of Excellence and Education (BCEE) untuk mendorong percepatan adopsi teknologi blockchain di berbagai kegiatan usaha, tanpa terkecuali di sektor logistik dan maritim.
Kadin dan BCEE juga akan melakukan advokasi implementasi teknologi blockchain di Indonesia yang saat ini masih memerlukan banyak upaya dalam pengembangannya.
"Salah satu upayanya adalah edukasi, Kadin dan BCEE mengajak Pemerintah dan stakeholder lainnya untuk bersama-sama mengedukasi para pelaku usaha dalam mengimplementasikan blockchain di bidang usahanya masing-masing, seperti workshop yang kita lakukan saat ini untuk sektor logistik dan maritim," ungkap rico.
Blockchain, kata dia, merupakan salah satu teknologi revolusioner. Teknologi ini telah membawa banyak manfaat dan solusi bagi beragam jenis sektor usaha menjadi lebih berdaya saing.
Meluasnya pemanfaatan blockchain bisa terlihat dari hasil kajian salah satu Lembaga riset internasional (Juniper Research) meyebutkan bahwa, saat ini enam dari sepuluh perusahaan besar telah mempertimbangkan atau sedang dalam proses pemanfaatan teknologi Blockchain. Karena itu, Rico menilai blockchain merupakan tren teknologi global yang akan memainkan peran.
Dia mengatakan, saat ini para pelaku ekonomi dunia tengah gencar-gencarnya menerapkan teknologi blockchain ke dalam sistem perekonomian mereka.
Selain di sektor logistik dan maritim, Kadin dan BCEE melaksanakan Workshop angkatan pertama juga di bidang pertambangan dan bidang perbankan dan asuransi.
Sumber :
https://economy.okezone.com/read/2019/11/06/320/2126440/pengusaha-logistik-hingga-pertambangan-mulai-terapkan-teknologi-blockchain?page=2
Rabu 06 November 2019 14:16 WIB
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan pemanfaatan teknologi blockchain terus mengalami pertumbuhan. Terlihat beberapa perusahaan sudah mulai menggunakan blockchain sebagai basis teknologi di berbagai sektor usaha seperti bidang logistik, rantai pasok, perbankan dan finansial, layanan publik, pertanian, pertambangan dan lainnya.
"Teknologi blockchain merupakan tren global yang akan berdampak besar bagi keberlangsungan bisnis kedepan, maka peluang besar ini harus kita raih," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik Rico Rustombi, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurut Rico, dalam ekonomi global, mereka yang dapat memanfaatkan sepenuhnya teknologi dan berinovasi dalam seluruh rantai nilai akan mendapatkan posisi terbaik dalam daya saing global.
"Pilihan kita beradaptasi atau mati. Siapkah perusahaan kita untuk menyambut manfaat implementasi blockchain yang makin nyata saat ini," tuturnya.
Blockchain
Sebagai tindak lanjut Global Blockchain Invesment Summit 2019 pada Juli 2019 lalu, Kadin Indonesia bekerjasama dengan Blockchain Asia Forum meluncurkan Blockchain Center of Excellence and Education (BCEE) untuk mendorong percepatan adopsi teknologi blockchain di berbagai kegiatan usaha, tanpa terkecuali di sektor logistik dan maritim.
Kadin dan BCEE juga akan melakukan advokasi implementasi teknologi blockchain di Indonesia yang saat ini masih memerlukan banyak upaya dalam pengembangannya.
"Salah satu upayanya adalah edukasi, Kadin dan BCEE mengajak Pemerintah dan stakeholder lainnya untuk bersama-sama mengedukasi para pelaku usaha dalam mengimplementasikan blockchain di bidang usahanya masing-masing, seperti workshop yang kita lakukan saat ini untuk sektor logistik dan maritim," ungkap rico.
Blockchain, kata dia, merupakan salah satu teknologi revolusioner. Teknologi ini telah membawa banyak manfaat dan solusi bagi beragam jenis sektor usaha menjadi lebih berdaya saing.
Meluasnya pemanfaatan blockchain bisa terlihat dari hasil kajian salah satu Lembaga riset internasional (Juniper Research) meyebutkan bahwa, saat ini enam dari sepuluh perusahaan besar telah mempertimbangkan atau sedang dalam proses pemanfaatan teknologi Blockchain. Karena itu, Rico menilai blockchain merupakan tren teknologi global yang akan memainkan peran.
Dia mengatakan, saat ini para pelaku ekonomi dunia tengah gencar-gencarnya menerapkan teknologi blockchain ke dalam sistem perekonomian mereka.
Selain di sektor logistik dan maritim, Kadin dan BCEE melaksanakan Workshop angkatan pertama juga di bidang pertambangan dan bidang perbankan dan asuransi.
Sumber :
https://economy.okezone.com/read/2019/11/06/320/2126440/pengusaha-logistik-hingga-pertambangan-mulai-terapkan-teknologi-blockchain?page=2
Tuesday, November 5, 2019
What is the Difference Between Logistics and Supply Chain?
November 13, 2015
“Supply chain is the football coach, and logistics is the quarterback. They both provide direction regarding how field assets must be situated and positioned. But the coach provides the overall game plan, and the QB executes the moves, adapting on the fly as needed.“
Jasen Incidis
Application Developer and Support Specialist, UltraShipTMS
If managing the supply chain is like fetching a hungry baby a bottle, then logistics is the thankless trek up and down the stairs in the middle of the night.
Benn Bekic
Chief Strategy Officer, WiseTech Global
Logistics is the connection from one node or point to another; supply chain is a series of sequential nodes or points connected to one another. Logistics focuses on transporting goods while supply chain focuses on finished product and/or customers.
Michael Fries
Sr. Logistics BI Analyst, US Foods
Supply chain comprises all aspects of a product cycle from origin to end user, for example from farm to fork. Logistics relates to one component of supply chain, addressing efficient product movement, such as from manufacturer to retail store.
Peter Reed
Senior Partner, KOM International
Logistics is just one component of a supply chain. Logistics has to do with the coordination and movement of goods. Supply chain involves multiple facets such as operations and procurement that keep a company running smoothly.
Pamela Ton
Procurement Analyst, Northrop Grumman Aerospace Systems
Procurement and logistics are responsible for getting the right thing (including the right specifications, the right quality) at the right (total) cost from the optimal source or sources. Supply chain is the implementation of the procurement strategy.
Thomas W. Derry
Chief Executive Officer, Institute for Supply Management (ISM)
Supply chain is the entire flow that brings a product or service to sale. Logistics is a segment of that, focused on the transportation and storage of goods.
Joe Couto
Chief Operating Officer, HighJump
Logistics is about how and when you move your material. Supply chain is how you turn a grain into a drink, including all processes, internal and external, to realize your drink.
Barry Meijerink
Director of Account Development, ProTrans
The difference varies by type of business. For manufacturers, supply chain encompasses procurement, logistics, and other functions. Retailers/wholesalers view supply chain as a procurement-related activity; logistics is a separate function that focuses on product movement between suppliers and stores/customers.
Vincent Canonico
Senior Partner, KOM International
From my standpoint, I view logistics as a subset of supply chain. I would define logistics as the storage and movement of goods from a companies' origin point (ex: supplier, plant, etc.) through to the destination point (ex: customer), with a large emphasis on transportation. I view supply chain as being much broader to incorporate such groups/activities as sourcing/manufacturing, distribution, IT, packaging, planning (supply, inventory, demand), etc.
John McDermott
Sr. Project Manager, St. Onge Company
Some industry practitioners contend that "supply chain" is just another term for "logistics." Others say supply chain includes purchasing, engineering, production, finance, marketing, and related control activities. Still others argue that a supply chain includes a company's suppliers' suppliers and a company's customers' customers. The bottom line was that there was no universally accepted definition for "supply chain."
Joel Sutherland
Managing Director, Supply Chain Management Institute, School of Business Administration, University of San Diego
Think of the supply chain and logistics as simply this: Logistics is comprised of storage and distribution, which is a subset of the supply chain, which deals with additional customer-tailored components such as schedules, procurement, inventory control, product lifecycle management, pricing, demand management, forecasts, and partnerships with strategic and tactical enablers.
Wallace A. Burns, Jr., Ed.D.
Consulting Manager, Associate Professor in the School of Business, Transportation and Logistics Management Program, American Public University
As seen in the SCOR model, logistics is the component of supply chain management that plans, implements, and controls the efficient, effective forward delivery and reverse flow and storage of goods, services and related information needed to meet customers' requirements.
Carl Accettura
Director, Life Science Solutions, Covectra
Supply chain encompasses the business processes linking the raw material provider to the ultimate customer/consumer. This includes upstream involvement in product development, procurement, operations, logistics, demand/supply planning, and customer service management.
Lamar Johnson
Executive Director, Center for Customer Insight & Marketing Solutions and Senior Associate Director, Supply Chain Management Center of Excellence The University of Texas at Austin McCombs School of Business
Sumber :
https://www.inboundlogistics.com/cms/article/good-question/
http://www.differencebetween.info/difference-between-logistics-and-supply-chain-management
Difference Between Logistics and Supply Chain Management
Last updated on July 26, 2018 by Surbhi S
All the activities, associated with the sourcing, procurement, conversion and logistics management, comes under the supply chain management. Above all, it encompasses the coordination and collaboration with the parties like suppliers, intermediaries, distributors and customers. Logistics Management is a small portion of Supply Chain Management that deals with the management of goods in an efficient way.
Supply Chain Management, it is a broader term which refers to the connection, right from the suppliers to the ultimate consumer.
It has been noticed that there is a drastic change in the manner in which business was conducted many years ago and now. Due to the improvement in the technology, which leads to the development of all key areas of business. Supply Chain Management also evolved as an improvement over Logistics Management, from past years. Check out this article to understand the difference between Logistics Management and Supply Chain Management.
Comparison Chart
Definition of Logistics Management
The management process which integrates the movement of goods, services, information, and capital, right from the sourcing of raw material, till it reaches its end consumer is known as Logistics Management. The objective behind this process is to provide the right product with the right quality at the right time in the right place at the right price to the ultimate customer. The logistic activities are divided into two broad categories they are:
Inbound Logistics: The activities which are concerned with procurement of material, handling, storage and transportation
Outbound Logistics: The activities which are concerned with the collection, maintenance, and distribution or delivery to the final consumer.
Apart from these, other activities are warehousing, protective packing, order fulfillment, stock control, maintaining equilibrium between demand and supply, stock management. This will result in savings in cost and time, high-quality products, etc.
Definition of Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) is a series of interconnected activities related to the transformation and movement of raw material to the finished goods till it reaches to the end user. It is the outcome of the efforts of multiple organizations that helped in making this chain of activities successful.
These organizations may include the firms with whom the organization is currently working like partners or suppliers, manufacturers, wholesalers, retailers, and consumers. The activities may include integration, sourcing, procurement, production, testing, logistics, customer services, performance measurement, etc.
Supply Chain Management has a multi-dimensional approach which manages the flow of raw materials and works in progress (semi-finished goods) within the organization and the end product outside the organization till it reaches the hands of the final consumer with a complete emphasis on the customer requirement.
Key Differences Between Logistics and Supply Chain Management
The following are the major differences between logistics and supply chain management:
The flow and storage of goods inside and outside the firm are known as Logistics. The movement and integration of supply chain activities are known as Supply Chain Management.
The main aim of Logistics is full customer satisfaction. Conversely, the main aim behind Supply Chain Management is to gain a substantial competitive advantage.
There is only one organisation involved in Logistics while some organisations are involved in Supply Chain Management.
Supply Chain Management is a new concept as compared to Logistics.
Logistics is only an activity of Supply Chain Management.
Conclusion
Logistics is a very old term, firstly used in the military, for the maintenance, storage and transportation of army persons and goods. Nowadays, this term is used in many spheres, not specifically in the military after the evolution of the concept of Supply Chain Management. It has also been said that SCM is an addition over Logistics Management as well as SCM comprises of logistics. Both are inseparable. Hence they do not contradict but supplement each other. SCM helps Logistics to be in touch with the transportation, storage and distribution team.
Sumber :
https://keydifferences.com/difference-between-logistics-and-supply-chain-management.html
All the activities, associated with the sourcing, procurement, conversion and logistics management, comes under the supply chain management. Above all, it encompasses the coordination and collaboration with the parties like suppliers, intermediaries, distributors and customers. Logistics Management is a small portion of Supply Chain Management that deals with the management of goods in an efficient way.
Supply Chain Management, it is a broader term which refers to the connection, right from the suppliers to the ultimate consumer.
It has been noticed that there is a drastic change in the manner in which business was conducted many years ago and now. Due to the improvement in the technology, which leads to the development of all key areas of business. Supply Chain Management also evolved as an improvement over Logistics Management, from past years. Check out this article to understand the difference between Logistics Management and Supply Chain Management.
Comparison Chart
BASIS FOR COMPARISON | LOGISTICS MANAGEMENT | SUPPLY CHAIN MANAGEMENT |
Meaning | The process of integrating the movement and maintenance of goods in and out the organization is Logistics. | The coordination and management of the supply chain activities are known as Supply Chain Management. |
Objective | Customer Satisfaction | Competitive Advantage |
Evolution | The concept of Logistics has been evolved earlier. | Supply Chain Management is a modern concept. |
How many organizations are involved? | Single | Multiple |
One in another | Logistics Management is a fraction of Supply Chain Management. | Supply Chain Management is the new version of Logistics Management. |
Definition of Logistics Management
The management process which integrates the movement of goods, services, information, and capital, right from the sourcing of raw material, till it reaches its end consumer is known as Logistics Management. The objective behind this process is to provide the right product with the right quality at the right time in the right place at the right price to the ultimate customer. The logistic activities are divided into two broad categories they are:
Inbound Logistics: The activities which are concerned with procurement of material, handling, storage and transportation
Outbound Logistics: The activities which are concerned with the collection, maintenance, and distribution or delivery to the final consumer.
Apart from these, other activities are warehousing, protective packing, order fulfillment, stock control, maintaining equilibrium between demand and supply, stock management. This will result in savings in cost and time, high-quality products, etc.
Definition of Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) is a series of interconnected activities related to the transformation and movement of raw material to the finished goods till it reaches to the end user. It is the outcome of the efforts of multiple organizations that helped in making this chain of activities successful.
These organizations may include the firms with whom the organization is currently working like partners or suppliers, manufacturers, wholesalers, retailers, and consumers. The activities may include integration, sourcing, procurement, production, testing, logistics, customer services, performance measurement, etc.
Supply Chain Management has a multi-dimensional approach which manages the flow of raw materials and works in progress (semi-finished goods) within the organization and the end product outside the organization till it reaches the hands of the final consumer with a complete emphasis on the customer requirement.
Key Differences Between Logistics and Supply Chain Management
The following are the major differences between logistics and supply chain management:
The flow and storage of goods inside and outside the firm are known as Logistics. The movement and integration of supply chain activities are known as Supply Chain Management.
The main aim of Logistics is full customer satisfaction. Conversely, the main aim behind Supply Chain Management is to gain a substantial competitive advantage.
There is only one organisation involved in Logistics while some organisations are involved in Supply Chain Management.
Supply Chain Management is a new concept as compared to Logistics.
Logistics is only an activity of Supply Chain Management.
Conclusion
Logistics is a very old term, firstly used in the military, for the maintenance, storage and transportation of army persons and goods. Nowadays, this term is used in many spheres, not specifically in the military after the evolution of the concept of Supply Chain Management. It has also been said that SCM is an addition over Logistics Management as well as SCM comprises of logistics. Both are inseparable. Hence they do not contradict but supplement each other. SCM helps Logistics to be in touch with the transportation, storage and distribution team.
Sumber :
https://keydifferences.com/difference-between-logistics-and-supply-chain-management.html
Wednesday, October 23, 2019
Can we manage the manufacturing supply chain better?
Today’s supply chains are vast and wide-ranging. But that scale also makes them fertile ground for risk: concerns over fraud, contamination, insecure production sites and unknown product sources trouble both customers and clients.
These are all factors that make transparency both more vital and more complex. To see why having a full understanding of the complexity of detailed stock tracking for regulatory and safety purposes in the process manufacturing industry, let’s take a look at one of those most scrutinised industries of all, pharma.
In the intensely regulated life sciences industry, pharmaceutical companies must be able to identify at any given time where any individual medicine item is. It’s deemed that in the event of a safety issue, it is imperative that items can be quickly removed from the market to minimise the risk to consumers and the cost of redress. In the fightback against counterfeit goods, regulators also require that individual medicine products are clearly verifiable as authentic. As of February this year, for example, the EU’s Falsified Medicines Directive specifies that any medicinal products must carry a unique product identifier code and that manufacturers and distributors must demonstrate detailed record-keeping, while all products must be logged in a central database of drugs sold in EU countries.
The technical challenge of meeting these compliance targets can be onerous. With thousands of product lines produced across multiple sites which are sold into hundreds of markets, keeping track of every stock unit exceeds the scope of the standard way businesses have to organise data, specifically relational database systems (think Oracle or Microsoft SQL Server). The numbers of unique serial codes alone can run into billions, and CIOs need a highly scalable way to manage the vast volumes of serial numbers.
Many organisations still store this information in data silos, making it only available in partial views, though. Even if the data is stored in one database, if it is run on SQL-based database technology, a simple and fast navigation through all the data in order to recognise how a production line or particular pallets and their contents are connected will be next to impossible. With increasing connectivity and a move to things like an Internet of Things, this complexity is unlikely to decrease.
The reason for this is that relational databases, which store information (product, pallet, production site, serial number etc.) in rows and columns, are poorly-equipped for identifying relationships within datasets. And these connections are essential for identifying a specific product’s whereabouts or to monitor, analyse and search the supply chain, and to share significant data about production sites and products.
Making traditional databases work in real time is also problematic, with performance suffering as the total dataset size grows. Increasingly, however, a software called graph database technology is a solution, because of its ability to record complex data interdependencies. The idea is that when you track something, you create a hierarchy or ‘tree’ of data: if you scan the code of a particular pallet, it will automatically recall its contents. Graphs offer a tremendous advantage over traditional relational databases, maintaining high performance even with vast volumes of data.
And instead of using relational tables, graph databases use structures better at analysing interconnections in data, and they also adopt a notational formalism closely aligned with the way humans think about information. Once the data model is coded, a graph database is practically impossible to beat at analysing the relationships between a large number of data points.
Such a relationship-centric approach enables the manufacturer to better manage, read and visualise their data, giving them a truly trackable and in-depth picture of all products, suppliers and facilities and the relationships between them. Using a graph database, manufacturers can typically demonstrate 100 times faster query response speeds than that enabled by SQL RDBMS software. That sort of response time is critical when you need to provide second or sub-second responses, when required to identify a specific product’s whereabouts. And critical in order to comply with the latest global regulations of traceability and to manage that time-critical and reputation-critical product recall effectively.
Graph database technology is a great enabler and effective solution for organisations that need to work with complex supply chains and provide the level of highly granular governance and sourcing capability our global economy demands.
By Emil Eifrem, CEO and Co-Founder of Neo4j, the world’s leading graph database company
Sumber :
https://www.supplychaindigital.com/supply-chain-management/can-we-manage-manufacturing-supply-chain-better
These are all factors that make transparency both more vital and more complex. To see why having a full understanding of the complexity of detailed stock tracking for regulatory and safety purposes in the process manufacturing industry, let’s take a look at one of those most scrutinised industries of all, pharma.
In the intensely regulated life sciences industry, pharmaceutical companies must be able to identify at any given time where any individual medicine item is. It’s deemed that in the event of a safety issue, it is imperative that items can be quickly removed from the market to minimise the risk to consumers and the cost of redress. In the fightback against counterfeit goods, regulators also require that individual medicine products are clearly verifiable as authentic. As of February this year, for example, the EU’s Falsified Medicines Directive specifies that any medicinal products must carry a unique product identifier code and that manufacturers and distributors must demonstrate detailed record-keeping, while all products must be logged in a central database of drugs sold in EU countries.
The technical challenge of meeting these compliance targets can be onerous. With thousands of product lines produced across multiple sites which are sold into hundreds of markets, keeping track of every stock unit exceeds the scope of the standard way businesses have to organise data, specifically relational database systems (think Oracle or Microsoft SQL Server). The numbers of unique serial codes alone can run into billions, and CIOs need a highly scalable way to manage the vast volumes of serial numbers.
Many organisations still store this information in data silos, making it only available in partial views, though. Even if the data is stored in one database, if it is run on SQL-based database technology, a simple and fast navigation through all the data in order to recognise how a production line or particular pallets and their contents are connected will be next to impossible. With increasing connectivity and a move to things like an Internet of Things, this complexity is unlikely to decrease.
The reason for this is that relational databases, which store information (product, pallet, production site, serial number etc.) in rows and columns, are poorly-equipped for identifying relationships within datasets. And these connections are essential for identifying a specific product’s whereabouts or to monitor, analyse and search the supply chain, and to share significant data about production sites and products.
Making traditional databases work in real time is also problematic, with performance suffering as the total dataset size grows. Increasingly, however, a software called graph database technology is a solution, because of its ability to record complex data interdependencies. The idea is that when you track something, you create a hierarchy or ‘tree’ of data: if you scan the code of a particular pallet, it will automatically recall its contents. Graphs offer a tremendous advantage over traditional relational databases, maintaining high performance even with vast volumes of data.
And instead of using relational tables, graph databases use structures better at analysing interconnections in data, and they also adopt a notational formalism closely aligned with the way humans think about information. Once the data model is coded, a graph database is practically impossible to beat at analysing the relationships between a large number of data points.
Such a relationship-centric approach enables the manufacturer to better manage, read and visualise their data, giving them a truly trackable and in-depth picture of all products, suppliers and facilities and the relationships between them. Using a graph database, manufacturers can typically demonstrate 100 times faster query response speeds than that enabled by SQL RDBMS software. That sort of response time is critical when you need to provide second or sub-second responses, when required to identify a specific product’s whereabouts. And critical in order to comply with the latest global regulations of traceability and to manage that time-critical and reputation-critical product recall effectively.
Graph database technology is a great enabler and effective solution for organisations that need to work with complex supply chains and provide the level of highly granular governance and sourcing capability our global economy demands.
By Emil Eifrem, CEO and Co-Founder of Neo4j, the world’s leading graph database company
Sumber :
https://www.supplychaindigital.com/supply-chain-management/can-we-manage-manufacturing-supply-chain-better
Tuesday, October 22, 2019
Understanding Supply Chain Management Practices for Small and Medium-Sized Enterprises
Small and medium enterprises (SMEs) are a major source of dynamism, innovation and flexibility for emerging and developing countries, as well as for the economies of the most industrialised nations. However, the survival and growth of SMEs can be difficult in the current competitive business environment and global marketplace.
It can be a real challenge to deliver the right product and service at the most opportune time and at the lowest possible cost to the right customer. The challenge stresses the importance of managing cross-boundary relationships between business partners.
For gaining a competitive advantage, supply chain management (SCM) is an effective tool to SMEs. Therefore, this paper aims to review the tenet of SCM, its benefits and practices to SMEs.
Sumber :
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1757-899X/215/1/012014
It can be a real challenge to deliver the right product and service at the most opportune time and at the lowest possible cost to the right customer. The challenge stresses the importance of managing cross-boundary relationships between business partners.
For gaining a competitive advantage, supply chain management (SCM) is an effective tool to SMEs. Therefore, this paper aims to review the tenet of SCM, its benefits and practices to SMEs.
Sumber :
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1757-899X/215/1/012014
Putting the Spotlight on SME Supply Chain Challenges
Oct 4, 2018 | Business, Supply Chain Management
As a consulting company specialising in helping small businesses improve their supply chains, we like to think we’re well aware of the specific challenges SMEs face in managing the balance of supply and demand.
Many of those challenges are similar to the ones faced by larger enterprises, but are there any supply chain challenges unique to smaller businesses?
In this article, we’ll explore that very question. Let’s begin with some of the challenges SMEs share with larger enterprises, and take a look at how and why they might be tougher for small businesses to overcome.
Top Supply Chain Challenges for All Businesses
If you’re running a small to medium-sized enterprise, or are engaged in supply chain management for such a business, you can probably relate to all of the following challenges:
Meeting increasingly high customer-service expectations
Keeping control of costs, especially those related to transportation
Risk identification and mitigation
Achieving supply chain visibility
Building and maintaining supplier and partner relationships
Keeping up-to-date with technology developments
All of these challenges exist for large enterprises too, but the last three on the list above can be particularly tricky for smaller businesses to get to grips with.
This is largely because of a lack of investment power, along with the limited accessibility of supply chain talent, which at a time of apparent scarcity, tends to gravitate toward larger corporations with the means to compensate at the highest rates.
Let’s look at each of those last three challenges in turn though, before exploring briefly why money and manpower present challenges of their own, and make it harder to overcome the other challenges mentioned above.
Supplier and Partner Relationships
Smaller companies often find themselves at a disadvantage when it comes to supplier relationships, since unless suppliers or partners are also small businesses, the buyer does not have the scale to create leverage.
If yours is a company with a $50 million annual turnover for example,it’s not going to be easy to create a balanced relationship with a supplier turning over $500 million.
You’re always going to be a small fish with little in the way of clout. One way to avoid this issue is to choose suppliers and partners that operate on a similar scale to your own company, but in reality, this is often not possible, especially as global consolidation continues to cultivate markets with fewer and larger participants.
Supply Chain Visibility
Without the information technology budgets to match large corporations, it can be a huge challenge to achieve the levels of visibility required for your supply chain to be competitive.
Let’s face it, even the majority of large enterprises struggle to achieve full transparency, despite heavy investment in increasingly sophisticated solutions.
While many supply chain technologies are subject to falling prices, supply chain visibility (SCV) is not one of them, and vendors, in the main, are focused on solving the visibility problem for multinational corporations, leaving SMEs with a limited range of SCV options.
Keeping Pace in the Technology Race
It seems that ever since spreadsheets gave way to powerful enterprise computing platforms, such as ERP, WMS, TMS, and SCM, the pace of technology development has left even the largest corporations struggling to keep up.
Many large supply chain organisations are struggling with the transition from legacy solutions to the latest cloud platforms, and it’s not at all unusual for a company to have a “patchwork quilt” of systems and applications in place.
Small and medium-sized enterprises typically have modest IT budgets, making it even tougher to apply technology to gain efficiencies and supply chain cost savings. They are less able to upgrade capabilities frequently or invest in expensive warehouse automation, even though to do so could save significant sums of money over the longer term.
Cash is a Key Challenge for SMEs
If there is one supply chain challenge that besets SMEs more emphatically than larger enterprises, it’s cash and finance, as you might have surmised from the commentary in this article thus far.
However, this issue extends far beyond the ability to invest in digital systems and negotiate favourable prices with suppliers.
Cash-flow in particular, can be a constant source of worry, with little resilience to issues like late payments from customers or overestimation of inventory requirements. The need to minimise working capital requirements is ever-present, but it’s never easily met, given constant pressure to ensure inventory availability is not compromised.
Why is cash flow such a big challenge? A number of factors play into the answer, including:
Reluctance among suppliers to offer favourable credit terms (as the SME’s buying power is limited)
SMEs sometimes have little or no formal history of credit or borrowing from financial institutions
There may be few assets available to serve as collateral for borrowing
These issues can be more serious for the SME operating in a B2B market, since customers may insist upon credit terms for their own payments, creating extended cash-to-cash cycle times and delaying the availability of funds to pay suppliers.
The SME Human Resources Challenge
Aside from access to cash, human resource availability is one of the most important challenges affecting SMEs, and one that is typically less of an issue for their larger counterparts. More specifically, from the supply chain perspective, SMEs may be less able to afford a team of supply chain managers and specialists.
This places many smaller businesses in position where managers wear multiple hats, each perhaps taking responsibility along with their teams, for specific elements of supply chain operations.
The problem with this plate-spinning approach (which is often more of a necessity than a preferred strategy) is twofold. Firstly, supply chain management usually takes a back seat to other areas of business functionality, especially during busy times. Secondly, there is seldom any room or time for managers and teams to align and collaborate to manage the supply chain holistically.
As a result, synergies and efficiencies are overlooked, and when problems arise, it can be hard to isolate the root causes and hence, apply robust, permanent solutions.
Not only is the lack of logistics expertise a challenge in itself, it also makes the other challenges, such as those already discussed, more difficult to overcome. Without a dedicated supply chain or logistics team, SMEs can find it tough to meet all the challenges presented in the list at the start of this article.
Where There are Challenges, There are Opportunities…
Early in the life of a small or medium enterprise, supply chain challenges can be a major cause of concern, but they don’t have to threaten performance or growth. Indeed, there are opportunities hiding within every challenge and in some respects, SMEs have the edge over larger companies when it comes to unlocking them (greater agility and shorter reaction times, for instance).
…And Increasingly, Solutions Too
Furthermore, as time goes on, SMEs should begin to gain access to new services and solutions, as the importance of the smaller enterprise becomes more apparent in global markets. After all, together, SMEs deliver over half of the GDP of many countries.
Cloud computing solutions, Uber-style freight, shipping, and warehousing platforms, and SME-focused 3PLs are all emerging as sources of supply chain support for the small to medium-sized enterprise. Even warehouse automation is becoming more affordable with the advent of “robotics as a service”.
Meanwhile, online virtual assistant services provide the opportunity for SMEs to outsource many back-office activities, enabling internal resources to be redirected to value-adding processes, including supply chain management. All of the aforementioned services, in fact, offer the possibility for SMEs to reduce labour costs, and the amount of human capital necessary to manage supply chain operations.
Get Some Help to Meet Supply Chain Challenges Head-on
As promising as they may be, none of the potential solutions mentioned above necessarily makes immediate supply chain challenges seem less troubling, which is why it can often be worth engaging some external help to address the issues directly.
Sumber :
https://www.dawsonconsulting.com.au/putting-the-spotlight-on-sme-supply-chain-challenges/
As a consulting company specialising in helping small businesses improve their supply chains, we like to think we’re well aware of the specific challenges SMEs face in managing the balance of supply and demand.
Many of those challenges are similar to the ones faced by larger enterprises, but are there any supply chain challenges unique to smaller businesses?
In this article, we’ll explore that very question. Let’s begin with some of the challenges SMEs share with larger enterprises, and take a look at how and why they might be tougher for small businesses to overcome.
Top Supply Chain Challenges for All Businesses
If you’re running a small to medium-sized enterprise, or are engaged in supply chain management for such a business, you can probably relate to all of the following challenges:
Meeting increasingly high customer-service expectations
Keeping control of costs, especially those related to transportation
Risk identification and mitigation
Achieving supply chain visibility
Building and maintaining supplier and partner relationships
Keeping up-to-date with technology developments
All of these challenges exist for large enterprises too, but the last three on the list above can be particularly tricky for smaller businesses to get to grips with.
This is largely because of a lack of investment power, along with the limited accessibility of supply chain talent, which at a time of apparent scarcity, tends to gravitate toward larger corporations with the means to compensate at the highest rates.
Let’s look at each of those last three challenges in turn though, before exploring briefly why money and manpower present challenges of their own, and make it harder to overcome the other challenges mentioned above.
Supplier and Partner Relationships
Smaller companies often find themselves at a disadvantage when it comes to supplier relationships, since unless suppliers or partners are also small businesses, the buyer does not have the scale to create leverage.
If yours is a company with a $50 million annual turnover for example,it’s not going to be easy to create a balanced relationship with a supplier turning over $500 million.
You’re always going to be a small fish with little in the way of clout. One way to avoid this issue is to choose suppliers and partners that operate on a similar scale to your own company, but in reality, this is often not possible, especially as global consolidation continues to cultivate markets with fewer and larger participants.
Supply Chain Visibility
Without the information technology budgets to match large corporations, it can be a huge challenge to achieve the levels of visibility required for your supply chain to be competitive.
Let’s face it, even the majority of large enterprises struggle to achieve full transparency, despite heavy investment in increasingly sophisticated solutions.
While many supply chain technologies are subject to falling prices, supply chain visibility (SCV) is not one of them, and vendors, in the main, are focused on solving the visibility problem for multinational corporations, leaving SMEs with a limited range of SCV options.
Keeping Pace in the Technology Race
It seems that ever since spreadsheets gave way to powerful enterprise computing platforms, such as ERP, WMS, TMS, and SCM, the pace of technology development has left even the largest corporations struggling to keep up.
Many large supply chain organisations are struggling with the transition from legacy solutions to the latest cloud platforms, and it’s not at all unusual for a company to have a “patchwork quilt” of systems and applications in place.
Small and medium-sized enterprises typically have modest IT budgets, making it even tougher to apply technology to gain efficiencies and supply chain cost savings. They are less able to upgrade capabilities frequently or invest in expensive warehouse automation, even though to do so could save significant sums of money over the longer term.
Cash is a Key Challenge for SMEs
If there is one supply chain challenge that besets SMEs more emphatically than larger enterprises, it’s cash and finance, as you might have surmised from the commentary in this article thus far.
However, this issue extends far beyond the ability to invest in digital systems and negotiate favourable prices with suppliers.
Cash-flow in particular, can be a constant source of worry, with little resilience to issues like late payments from customers or overestimation of inventory requirements. The need to minimise working capital requirements is ever-present, but it’s never easily met, given constant pressure to ensure inventory availability is not compromised.
Why is cash flow such a big challenge? A number of factors play into the answer, including:
Reluctance among suppliers to offer favourable credit terms (as the SME’s buying power is limited)
SMEs sometimes have little or no formal history of credit or borrowing from financial institutions
There may be few assets available to serve as collateral for borrowing
These issues can be more serious for the SME operating in a B2B market, since customers may insist upon credit terms for their own payments, creating extended cash-to-cash cycle times and delaying the availability of funds to pay suppliers.
The SME Human Resources Challenge
Aside from access to cash, human resource availability is one of the most important challenges affecting SMEs, and one that is typically less of an issue for their larger counterparts. More specifically, from the supply chain perspective, SMEs may be less able to afford a team of supply chain managers and specialists.
This places many smaller businesses in position where managers wear multiple hats, each perhaps taking responsibility along with their teams, for specific elements of supply chain operations.
The problem with this plate-spinning approach (which is often more of a necessity than a preferred strategy) is twofold. Firstly, supply chain management usually takes a back seat to other areas of business functionality, especially during busy times. Secondly, there is seldom any room or time for managers and teams to align and collaborate to manage the supply chain holistically.
As a result, synergies and efficiencies are overlooked, and when problems arise, it can be hard to isolate the root causes and hence, apply robust, permanent solutions.
Not only is the lack of logistics expertise a challenge in itself, it also makes the other challenges, such as those already discussed, more difficult to overcome. Without a dedicated supply chain or logistics team, SMEs can find it tough to meet all the challenges presented in the list at the start of this article.
Where There are Challenges, There are Opportunities…
Early in the life of a small or medium enterprise, supply chain challenges can be a major cause of concern, but they don’t have to threaten performance or growth. Indeed, there are opportunities hiding within every challenge and in some respects, SMEs have the edge over larger companies when it comes to unlocking them (greater agility and shorter reaction times, for instance).
…And Increasingly, Solutions Too
Furthermore, as time goes on, SMEs should begin to gain access to new services and solutions, as the importance of the smaller enterprise becomes more apparent in global markets. After all, together, SMEs deliver over half of the GDP of many countries.
Cloud computing solutions, Uber-style freight, shipping, and warehousing platforms, and SME-focused 3PLs are all emerging as sources of supply chain support for the small to medium-sized enterprise. Even warehouse automation is becoming more affordable with the advent of “robotics as a service”.
Meanwhile, online virtual assistant services provide the opportunity for SMEs to outsource many back-office activities, enabling internal resources to be redirected to value-adding processes, including supply chain management. All of the aforementioned services, in fact, offer the possibility for SMEs to reduce labour costs, and the amount of human capital necessary to manage supply chain operations.
Get Some Help to Meet Supply Chain Challenges Head-on
As promising as they may be, none of the potential solutions mentioned above necessarily makes immediate supply chain challenges seem less troubling, which is why it can often be worth engaging some external help to address the issues directly.
Sumber :
https://www.dawsonconsulting.com.au/putting-the-spotlight-on-sme-supply-chain-challenges/
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Pengertian SCOR Model dalam Manajemen Rantai Pasok SCOR Model adalah singkatan dari The Supply Chain Operations Reference Model. Secara peng...
-
Kisi-kisi pelatihan untuk Purchasing yang dirancang agar peserta memahami proses, strategi, dan keterampilan penting dalam pengelolaan pemb...
-
Ada 4 pemain besar software ERP yang ada di pasar saat ini antara lain : SAP SAP merupakan software ERP yang berasal dari Jerman. SAP mer...
-
Oleh Kevin O'Marah October 27, 2017 Minggu ini, ketika saya mengajar kelas M.B.A. di Northeastern University di Boston, salah satu si...
-
Rencanakan Jalur Penjualan Anda Dalam 3 Langkah. Langkah 1: Menangkan Apa Yang Bisa Dimenangkan Sebuah non-stop pipeline. Ini adalah sistem ...