Pages

Saturday, June 30, 2012

Benchmark Stock Accuracy

Saya pikir begini berdasarkan pengalaman saya, kita perlu sedikit melihat dari sudut lain. Dalam setiap pengukuran, sebenarnya tidak pernah ada aturan yang baku tentang hal itu. Setiap konsep yang dibangun selalu ada ruang untuk berkreasi di mana hal ini akan menjadi best practice yang pada setiap bisnis akan berbeda.

Mental blok kita punya anggapan bahwa di atas 50% berarti lebih banyak baiknya, dan mendekati 100% itulah yang terbaik, padahal boleh jadi effort untuk mencapai dengan resikonya tidak seimbang. Dalam hal ini, hemat saya, kita tidak bisa mengatakan bahwa 99.98% adalah terbaik atau achievement yang luar biasa. Saya bisa katakan bahwa 70% boleh jadi sudah sangat baik, dan itu semua sangat tergantung dari setiap bisnis proses yang kita miliki.

Sebagai contoh, jika kita memproduksi alat pacu jantung, 99.98% dari 1 juta itu 200 unit yang dianggap diizinkan boleh rusak, apakah angka ini wajar? Tentu tidak, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap resiko nyawa orang. Atau, anggap saja, bukan jumlah alatnya yang rusak, tetapi 0.02% alatnya akan "hang" dalam 1 tahun, maka itu sama dengan 0.073 hari atau 1.752 jam atau 105.12 menit. Apakah angka ini reliable? Jelas tidak.

Contoh lain kita bisa katakan 60% bisa jadi adalah dianggap wajar dari sisi biaya adalah ketika kita menyimpan tingkat kerugian sebesar 40% dari stock, namun secara keseluruhan produk jadi, hal ini hanya kurang dari 0.05% cost of goods, sementara finished good yang kita produksi hanya sedikit dalam satu bulan. Dalam beberapa bisnis, kehilangan semacam ini boleh jadi masih dianggap wajar, apalagi jika raw materialnya termasuk yang jenis mudah menguap atau rusak dalam proses.

Salah satu pengalaman saya di salah satu 'BUMN' milik salah satu negara di Eropa yang membuat panel distribusi, baut atau kabel hilang itu bisa dianggap "biasa", karena kita menganggap sudah menjadi consumable part.

Bahkan, barang yang sangat spesifik pun meski menjadi slow moving dengan nilai puluhan ribu dolar, tidak "dianggap" stocknya, karena secara bisnis, material spesifik itu sudah dialokasikan dalam budget cost suatu project, jadi meski akhirnya tidak terpakai akibat adanya engineering change selama project berjalan, dan meski masih tercatat di stock, tidak dianggap sebagai "real stock", karena dari sudut biaya sudah dianggap sebagai cost of project.

Demikian pula, saya sama sekali tidak bisa membandingkan pula dengan pengalaman saya di automotive company dengan salah satu gold mining company, agak mirip dengan project based di atas. Jadi ada banyak dimensi ketika kita melakukan pengukuran terhadap sebuah proses, termasuk akurasi di dalamnya. Jadi, bisa dibayangkan, material spesifik itu jika hilang sekalipun, sama sekali bukan resiko, tetapi lebih kepada soal keamanan dan kultur di sebuah perusahaan.

Menurut hemat saya, berapapun angka yang menjadi patokan, semua itu seharusnya berawal dari semangat untuk selalu relentlessly improve the process. Dalam arti, bahwa hari ini kita bisa katakan 0.3% losses adalah wajar, namun besok harus diturunkan secara progresif dan berkesinambungan. Tidak ada hal yang paling sempurna di dunia ini kecuali kita selalu melakukan perubahan untuk menuju kesempurnaan.

Secara teknis, penting buat kita untuk mengerti berapa level "wajar" dan "tidak wajar" secara cost based maupun resiko, sehingga apa yang kita tetapkan adalah sesuatu yang masuk di akal. Penting buat kita untuk mencari tahu biaya yang muncul akibat kegagalan mencapai metrik itu "lawannya" apa. Ketika di manufacturing company, kehilangan 1% akan menjadi masalah, sebab di manufacturing, kita bermain dengan efisiensi, efektifitas, waktu, kultur (ini sering dilupakan karena akibat kultur, kebiasaan buruk bisa jadi akan menyebar), akan sangat berbeda di perusahaan yang bermain dengan project.

Di titik ini, penting buat kita yang menjadi pelaksana rutin di sebuah perusahaan, untuk mengejawantahkan konsep dan teori di buku maupun training-training ke dalam realitas. Buat saya, konsep tetaplah konsep, itu adalah acuan dan ketika di fisik lapangan, kita harus berbicara secara real, logis, dan dengan berbagai kesulitannya. Namun, penting untuk selalu mengatakan bahwa kita selalu punya semangat untuk bisa dan bisa mencapai hal yang lebih baik.

Kira-kira begitulah sekelumit pengalaman saya, mungkin yang lebih mengerti sistem dan punya banyak pengalaman bisa mengkritisi catatan 2 sen ini.

Salam,

Adi N


Sumber : milis IPOMS

Wednesday, June 27, 2012

MATERIAL HANDLING EQUIPMENT (MHE)

Pengertian: Peralatan yang digunakan untuk proses handling (material/barang/ parts/FG. .etc yang sejenis). MHE merupakan salah satu kunci managed well gudang, salah satunya untuk meningkatakn efesiensi space.

Jenis MHE:
1. Transport equipment
- Conveyor
- Crane
- Industrial truck

2. Unit load equipment
- Pallet
- Bin/basket
- Cartons

3. Storage equipment
- rack
- AS/RS
- Stacking frame

4. Control equipment
- Bar coding
- Portable data terminal

Perkembangan MHE (design dan bisnis) juga cukup menjanjikan dr tahun ketahun. Semua menyokong bisnis di bidang Warehousing dan SCM.

Sumber :
http://www.wikimhed a.org/
MHE WIKI.

Stock Control : ABC Methode

Menurut buku Material Mng (tony arnold). Aturannya adalah :
1. Have plenty of low value items.
Item C bisa 50% dari inventory tetapi valuenya 5% dari total inventory value.

2. Use the money and control effort saved to reduce the inventory of high value items.
Item A mewakili 20% dari inventory tetapi valuenya 80% dari total inventory value.

Item A - high priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap bulan, jaga stok seminimal mungkin

Item B - medium priority
perlu kontrol biasa saja, stock ulang min setiap kuartal

Item C - low priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap 6 bulan, jumlah stok boleh lebih banyak dari kebutuhan

Item C bisa naik menjadi medium/high priority jika stok habis dan berakibat timbulnya masalah2 baru.

Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)

oleh Mohammad Syarwani


I. Sistem Produksi Barat

Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini
antara lain:

  • melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
  • melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan
  • kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
  • terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
  • terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
  • penyimpanpersediaan, dll.


Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.

Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.


II. Sistem Produksi Jepang

Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste).

Bentuk kemubadziran antara lain adalah

Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.

Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.

Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.

Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.

Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.

Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.

Melakukan pengendalian kualitas dengan baik. Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi
konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).

Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.

Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3
cara, yaitu :

a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.

b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.

Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.

c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.

Kartu Stock

Tahun 1986 di AHM memakai bin card (kartu stok gantung), padahal di thn86 AHM sdh computerized dan menggunakan barcode scanner RF.

Jika Bapak saat ini pergi ke AHM, kemungkinan besar di sana masih memakainya, saya terakhir ke AHM sekitar   5 thn lalu dan masih menggunakan kartu stok tsb. Jadi jika tidak efektif dan tdk efisien tentunya AHM tdk akan menggunakannya.

Di perusahaan Farmasi, Badan POM juga mensyaratkan kartu stok spt itu.

Kartu stok banyak macamnya, minimal 3 :
a. Kartu stok di meja.
b. Bin card barang digantung (format spt a), spt diminta BPOM.
c. Bin card lokasi (format per lokasi bukan per brg).

Fungsi kartu stok/bin card :
a. Pertanggung jawaban personil operasional gudang, jika data komputer berbeda dgn fisik, wasitnya bin card yg ditulis manual oleh opr gudang.
b. Memudahkan sampling setiap saat.

Layout gdg diisi nama brg : tergantung tipe layout yg Bapak inginkan jika Bapak menerapkan yg fixed bisa spt itu, tp jgn lupa hampir semua gudang tdk bisa menerapkan murni fixed location, krn biasanya 1 brg dpt disimpan di beberapa lokasi jika tempt tdk memungkinkan. Jadi kemungkinan besar ide menempel layout diberi tambahan nama/kode item tidak memungkinkan.

Sumber : milis IPOMS

Prosedur Pengambilan Barang

Pengambilan dengan “menyilet” packing dari samping? Jawabnya adalah salah besar, alasannya adalah waktu untuk menyilet dari samping jika dibandingkan dengan membuka packing sesuai standar-nya adalah jauh lebih lama, tingkat kecelakaan kerja akan sangat tinggi (dikhawatirkan barang akan jatuh dari lubang samping setelah di silet), keselamatan barang itu sendiri tidak terjamin.

Bagaimana caranya untuk mengambil barang terutama bilamana barang2 itu ada di dalam doos tertutup dan ada di rak bagian atas ? jawabnya tergantung ketinggian rak dan tergantung berat barang dan tergantung alat yang digunakan maksudnya adalah, jika raknya >dari 3 M dan barangnya berat, saran saya lebih baik dan lebih aman di turunkan dulu dan barangnya diambil dibawah, setelah itu barang dinaikkan kembali ke lokasi awal.

Akan tetapi jika rak < dari 3 M dan barangnya ringan bisa langsung diambil dengan tangga segitiga.

Apakah ada prosedur yang benar ? Jawabnya pasti ada, hanya saja prosedur di setiap organisasi adalah berbeda-beda. Masukan dari saya, jika anda melakukan pengukuran kecepatan picking maka harus benar-benar didukung dengan system yang bagus.

Misalnya saja di Picking Note/Nota Pengambilan Barang ada mencantumkan nama barang, kode barang, nomor lokasi barang, dari lot berapa barang boleh diambil (bukan operator yang menentukan tapi system).

Related Posts