Pages

Thursday, November 5, 2015

Just In Time di Indonesia

Salah satu yang diajarkan oleh JIT adalah permintaan pengiriman material secara parsial, sesuai yang dibutuhkan  atau yang sudah diatur jadwal produksinya oleh customer. Jika bergaining posisition supplier lebih lemah, (entah itu karena skala bisnis yang lebih kecil, ketergantungan order yang besar, ataupun karena customer adalah perusahaan monopoli) maka dia akan tak berdaya dan mengikuti saja apa yang diinginkan oleh customernya, walaupun parsial delivery itu cenderung menyulitkan dia.

Apakah SEMUA CUSTOMER MEMIKIRKAN KESULITAN SUPPLIERNYA ? Pendekatan primitif tentang pemasok cenderung untuk berfikir secara zero sum (menang kalah). Sehingga hanya memindahkan stock kepada suppliernya saja, agar si customer sendiri bisa zero inventory dan just in time ?
                       
Bagaimana dengan si supplier, apakah dia bisa zero inventory juga,  dan bisa just in time juga ? Banyak supplier yang akhirnya harus menumpuk stock berlebih hanya agar bisa mensupplay material yang diinginkan customernya (yang polanya belum tentu teratur, sesuai kanban yang diatur customer) agar setiap saat bisa mengirimkan barang yang dinginkan customer. Di sini justru malah si supplier yang melakukan tindakan yang tidak menambah nilai yaitu over stock. Yang tentu saja ini salah satu bentuk Muda (pemborosan).

Dengan level stock yang tinggi, maka barang di supplier akan terancam kadaluarsa, cepat rusak dan membebani cash flownya. Tinggal menunggu waktu saja, cepat atau lambat, si supplier ini yang justru bermasalah. Jika supplier bermasalah, bisakah dia selalu on time dan just time mengirimkan barang ke customernya ? Pengalaman di tempat saya mengatakan tidak akan selalu
berjalan dengan smooth
                     
 Karenanya pendekatan terbaru terhadap supplier bukan hanya selection dan valuation vendor, tapi juga pembinaan dan bantuan kepada vendor untuk mengatasi segala kesulitannya dan memberikan segala informasi yang dipunyai oleh customer untuk membantu vendor. bahkan dalam pendekatan supply chain management, Customer tidak hanya mengurusi dan membantu suppliernya, tapi juga suppliernya supplier... hingga sampai ke hulu supplier. Ini dimaksudkan untuk menghindari kegagalan delivery oleh supplier. Sebab kadang sebuah masalah bukan disebabkan oleh supplier, tapi justru oleh pihak lain di luar supplier itu.
                       
Suatu contoh, sebuah perusahaan sparepart otomotif memiliki supplier karton box (corrugated carton box). Perusahan otomotif ini minta kepada suppliernya untuk mengirim karton box secara parsial, sesuai yang diminta oleh customer. Karena customer tidak pernah memberikan informasi schedule produksi dan delivery dan informasi lainnya, akibatnya si supplier tidak tahu berapa kira-kira dia harus menyipakan materialnya. Pilihan logis yang diambilnya adalah menumpuk stock material sebanyak-banyaknya.

Namun tiba-tiba keadaan berubah. Suppliernya perusahaan karton box, yang notabene
adalah produsen kertas yang di Indonesia keberadaannya masih monopoli (duopoli) menerapkan kebijakan agar semua pembeli material untuk karton box membayar secara cash total dimuka (bukan advanced payment), baru bisa mendapatkan material yang diminta. Akibatnya posisi perusahaan karton box ini menjadi kelimpungan karena kesulitan cash flow (likuiditas). Apalagi ketika customernya yang perusahaan sapreparts otomotif itu berkehendak untuk mengganti spek material, sementara material dengan spek lama masih menumpuk. Akibatnya perusahaan karton box ini terncam gulung tikar, dan tidak bisa mengirim barang  lagi.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan ? Banyak perusahaan besar kemudian mengambil langkah pintas dalam supply chain management ini dengan menerapkan Keiretsu. Yaitu semua suppliernya dari hilir ke hulu adalah perusahaan dalam grupnya sendiri. Tapi apakah itu mudah dilakukan oleh semua perusahaan di Indonesia ?

Masalah kedua berkaitan dengan pengendalian stock ini adalah letak perusahaan supplier yang berjauhan dengan pabrik customer. Jika dalam literatur Lean Manufacture sering disebut istilah supplier yang letaknya di wilayah industri yang sama. Apakah hal ini akan mudah diterapkan di Indonesia, atau paling tidak di Jabodetabek ?

Jika di Jepang, semua supplier utama Toyota ini berada di area Toyota City. Yang berarti semua supplier utama Toyota letak pabriknya tidak jauh dari pabrik Toyota. Sehingga masalah kemacetan bukan menjadi kendala. Tapi bandingkan dengan di Jabodetabek. Apakah semua supplier utama kita letaknya di sekitar pabrik kita ? Toyota Indonesia yang pabriknya ada di Sunter dan Karawang, ternyata mempunyai supplier utama seperti Sugity yang ada di Cikarang, Aisin di Bekasi, Abadi Barindo (Ex Kadera-AR) di Gandamekar Cikarang Barat, GKD Group di Pegangsaan Dua Kelapa Gading, dan lain-lain.

Apakah lalu lintas antara Sunter, Karawang, Cikarang, Bekasi, dan Kelapa Gading selalu lancar dan mudah terjangkau ? Bagaimana jika terjadi kemacetan yang panjang, atau demo buruh seperti hari buruh kemarin ? Apakah semua supplier tetap bisa mengirimkan barang on time, sehingga level stock perusahaan kita tetap terjaga ?

Di negara yang blue print kebijakan manufakturnya masih tidak stabil seperti Indonesia ini, mengharap semua supplier kita berda dalam kawasan industri yang sama tentu saja merupakan sebuah harapan yang naif. Akibatnya tetap saja kita harus mencari suuplier yang letaknya di luar kawasan industri pabrik kita. Jika demikian, bagaimana dengan masalah kemacetan lalu lintas, hambatan transportasi, demo buruh, dan sebagainya ?

Bisakah kebijakan satu suppleir diterapkan ? Bagaimana dengan kebijakan dua atau lebih supplier ? Ini berarti penyesuaian dong dengan konsep single suppliernya TPS. Tapi kenapa tidak ?
                       
Sementara itu, jika semua material utama kita diperoleh melalu import, dapatkah kita menerapkan kebijakan parsial delivery untuk mejaga level stock agar tetap rendah ? Ini sangat sulit sekali, karena dengan import, kita harus mengikuti aturan minimal import.

Jika minimal import ini jauh dari kebutuhan per bulan kita, tentu saja membuat level stock menjadi tinggi. Belum lagi harus menghadapi masalah pengurusan adminidtrasi import yang lama dan panjang. Sehingga banyak perusahaan yang kemudian mengecualikan barang importini dalam kebijakan level stock rendah mereka.

Bahkan sebuah perusahaan otomotif besar sekalipun akhirnya memberikan diskon yang cukup besar untuk mobil yang diimportnya secara CBU (completly built up). Ini artinya mobil ini tidak bisa diimport jumlahnya sesuai yang diminta oleh customer (sesuai dengan konsep JIT)
                       
Oleh karena itu, jangan terlalu terpukau dengan satu konsep manufaktur semata, tapi ambillah semangat dan intisari konsep itu yang bisa diterapkan sesuai dengan kondisi perusahaan kita. Perlu ada proses dialektika dalam memahami dan menerapkan suatu konsep manajemen manufaktur dengan kondisi dan kebutuhan nyata perusahaan.

Salam,
Agus Hendri - Bogor

Related Posts