Buffer
1) A quantity of materials awaiting further processing. It can refer to raw materials, semifinished stores or hold points, or a work backlog that is purposely maintained behind a work center.
2) In the theory of constraints, time or material and support throughput and/or due date performance. Can be maintained at the constraint, convergent points (with a constraint part), divergent points, and shipping points.
Buffer stock
Synonym: safety stock.
Safety stock
1) In general, a quantity of stock planned to be in inventory to protect against fluctuations in demand or supply.
2) In the context of master production scheduling, the additional inventory and capacity planned as protection against forecast errors and short-term changes in the backlog. Synonym: buffer stock. See: hedge, inventory buffer.
Sumber : APICS Dictionary
Supply Chain Management (SCM) adalah serangkaian kegiatan yang meliputi koordinasi, penjadwalan, dan pengendalian terhadap pengadaan, produksi, persediaan dan pengiriman produk ataupun layanan jasa kepada pelanggan yang mencakup administrasi harian, operasi , logistik dan pengolahan informasi mulai dari customer hingga supplier.
Sunday, July 15, 2012
Metode FIFO dan LIFO
Metode FIFO dan LIFO ini menyangkut 2 hal:
1. Physical Flow inventory
2. Metode alokasi biaya
Kedua hal tersebut bisa berjalan berbarengan ataupun sendiri-sendiri. Misalnya untuk Physical Flow menggunakan metode FIFO dan utk costing sebaliknya. Ataupun dua2nya sama.
Menurut hemat saya, di dalam physical flow inventory selayaknya menggunakan metode FIFO hal ini untuk meminimalisir kerusakan inventory akibat dimakan waktu.
Sedangkan untuk metode alokasi biaya, dgn asumsi bahwa kecenderungan pasar adalah terjadinya inflasi, yang mana harga cenderung naik, maka utk optimalisai profit sewajarnya menggunakan metode FIFO karena asumsi bahwa biaya terdahulu adalah lebih murah daripada biaya sekarang, sehingga HPP menjadi lebih kecil dan profit dapat ditingkatkan.
Akan tetapi ada beberapa kritik atas penggunaan metode alokasi FIFO:
1. Metode FIFO tidak mengindahkan konsep akuntansi yg kita kenal selama ini yakni "matching konsep", di mana dijelaskan bahwa revenue yg kita dapatkan harus match atas cost yg muncul pada kurun waktu yg sama. Jadi dengan penerapan FIFO muncul Gap antara timeframe antara ketika Revenue kita terjadi dan Cost yg kita akui.
2. Metode FIFO cenderung mengabaikan sustainability dari perusahaan dan menimbulkan misleading di dalam decision making harga penjualan. Hal ini disebabkan karena FIFO mengabaikan asumsi replacement cost pada saat timbulnya revenue.
3. Munculnya biaya pajak tambahan akibat penggunaan metode FIFO. Akibat meningkatnya profit dgn pemilihan metode FIFO menyebabkan pajak yg harus dibayar perusahaan meningkat, meskipun secara cashflow tidak ada additional cashflow yg didapati perusahaan dari pengakuan profit tersebut. (Hal ini tidak berlaku di Indonesia karena peraturan pajak Indonesa hanya mengakui metode FIFO dan average saja)
Sumber : diskusi milis APICS ID
1. Physical Flow inventory
2. Metode alokasi biaya
Kedua hal tersebut bisa berjalan berbarengan ataupun sendiri-sendiri. Misalnya untuk Physical Flow menggunakan metode FIFO dan utk costing sebaliknya. Ataupun dua2nya sama.
Menurut hemat saya, di dalam physical flow inventory selayaknya menggunakan metode FIFO hal ini untuk meminimalisir kerusakan inventory akibat dimakan waktu.
Sedangkan untuk metode alokasi biaya, dgn asumsi bahwa kecenderungan pasar adalah terjadinya inflasi, yang mana harga cenderung naik, maka utk optimalisai profit sewajarnya menggunakan metode FIFO karena asumsi bahwa biaya terdahulu adalah lebih murah daripada biaya sekarang, sehingga HPP menjadi lebih kecil dan profit dapat ditingkatkan.
Akan tetapi ada beberapa kritik atas penggunaan metode alokasi FIFO:
1. Metode FIFO tidak mengindahkan konsep akuntansi yg kita kenal selama ini yakni "matching konsep", di mana dijelaskan bahwa revenue yg kita dapatkan harus match atas cost yg muncul pada kurun waktu yg sama. Jadi dengan penerapan FIFO muncul Gap antara timeframe antara ketika Revenue kita terjadi dan Cost yg kita akui.
2. Metode FIFO cenderung mengabaikan sustainability dari perusahaan dan menimbulkan misleading di dalam decision making harga penjualan. Hal ini disebabkan karena FIFO mengabaikan asumsi replacement cost pada saat timbulnya revenue.
3. Munculnya biaya pajak tambahan akibat penggunaan metode FIFO. Akibat meningkatnya profit dgn pemilihan metode FIFO menyebabkan pajak yg harus dibayar perusahaan meningkat, meskipun secara cashflow tidak ada additional cashflow yg didapati perusahaan dari pengakuan profit tersebut. (Hal ini tidak berlaku di Indonesia karena peraturan pajak Indonesa hanya mengakui metode FIFO dan average saja)
Sumber : diskusi milis APICS ID
Saturday, June 30, 2012
Benchmark Stock Accuracy
Saya pikir begini berdasarkan pengalaman saya, kita perlu sedikit melihat dari sudut lain. Dalam setiap pengukuran, sebenarnya tidak pernah ada aturan yang baku tentang hal itu. Setiap konsep yang dibangun selalu ada ruang untuk berkreasi di mana hal ini akan menjadi best practice yang pada setiap bisnis akan berbeda.
Mental blok kita punya anggapan bahwa di atas 50% berarti lebih banyak baiknya, dan mendekati 100% itulah yang terbaik, padahal boleh jadi effort untuk mencapai dengan resikonya tidak seimbang. Dalam hal ini, hemat saya, kita tidak bisa mengatakan bahwa 99.98% adalah terbaik atau achievement yang luar biasa. Saya bisa katakan bahwa 70% boleh jadi sudah sangat baik, dan itu semua sangat tergantung dari setiap bisnis proses yang kita miliki.
Sebagai contoh, jika kita memproduksi alat pacu jantung, 99.98% dari 1 juta itu 200 unit yang dianggap diizinkan boleh rusak, apakah angka ini wajar? Tentu tidak, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap resiko nyawa orang. Atau, anggap saja, bukan jumlah alatnya yang rusak, tetapi 0.02% alatnya akan "hang" dalam 1 tahun, maka itu sama dengan 0.073 hari atau 1.752 jam atau 105.12 menit. Apakah angka ini reliable? Jelas tidak.
Contoh lain kita bisa katakan 60% bisa jadi adalah dianggap wajar dari sisi biaya adalah ketika kita menyimpan tingkat kerugian sebesar 40% dari stock, namun secara keseluruhan produk jadi, hal ini hanya kurang dari 0.05% cost of goods, sementara finished good yang kita produksi hanya sedikit dalam satu bulan. Dalam beberapa bisnis, kehilangan semacam ini boleh jadi masih dianggap wajar, apalagi jika raw materialnya termasuk yang jenis mudah menguap atau rusak dalam proses.
Salah satu pengalaman saya di salah satu 'BUMN' milik salah satu negara di Eropa yang membuat panel distribusi, baut atau kabel hilang itu bisa dianggap "biasa", karena kita menganggap sudah menjadi consumable part.
Bahkan, barang yang sangat spesifik pun meski menjadi slow moving dengan nilai puluhan ribu dolar, tidak "dianggap" stocknya, karena secara bisnis, material spesifik itu sudah dialokasikan dalam budget cost suatu project, jadi meski akhirnya tidak terpakai akibat adanya engineering change selama project berjalan, dan meski masih tercatat di stock, tidak dianggap sebagai "real stock", karena dari sudut biaya sudah dianggap sebagai cost of project.
Demikian pula, saya sama sekali tidak bisa membandingkan pula dengan pengalaman saya di automotive company dengan salah satu gold mining company, agak mirip dengan project based di atas. Jadi ada banyak dimensi ketika kita melakukan pengukuran terhadap sebuah proses, termasuk akurasi di dalamnya. Jadi, bisa dibayangkan, material spesifik itu jika hilang sekalipun, sama sekali bukan resiko, tetapi lebih kepada soal keamanan dan kultur di sebuah perusahaan.
Menurut hemat saya, berapapun angka yang menjadi patokan, semua itu seharusnya berawal dari semangat untuk selalu relentlessly improve the process. Dalam arti, bahwa hari ini kita bisa katakan 0.3% losses adalah wajar, namun besok harus diturunkan secara progresif dan berkesinambungan. Tidak ada hal yang paling sempurna di dunia ini kecuali kita selalu melakukan perubahan untuk menuju kesempurnaan.
Secara teknis, penting buat kita untuk mengerti berapa level "wajar" dan "tidak wajar" secara cost based maupun resiko, sehingga apa yang kita tetapkan adalah sesuatu yang masuk di akal. Penting buat kita untuk mencari tahu biaya yang muncul akibat kegagalan mencapai metrik itu "lawannya" apa. Ketika di manufacturing company, kehilangan 1% akan menjadi masalah, sebab di manufacturing, kita bermain dengan efisiensi, efektifitas, waktu, kultur (ini sering dilupakan karena akibat kultur, kebiasaan buruk bisa jadi akan menyebar), akan sangat berbeda di perusahaan yang bermain dengan project.
Di titik ini, penting buat kita yang menjadi pelaksana rutin di sebuah perusahaan, untuk mengejawantahkan konsep dan teori di buku maupun training-training ke dalam realitas. Buat saya, konsep tetaplah konsep, itu adalah acuan dan ketika di fisik lapangan, kita harus berbicara secara real, logis, dan dengan berbagai kesulitannya. Namun, penting untuk selalu mengatakan bahwa kita selalu punya semangat untuk bisa dan bisa mencapai hal yang lebih baik.
Kira-kira begitulah sekelumit pengalaman saya, mungkin yang lebih mengerti sistem dan punya banyak pengalaman bisa mengkritisi catatan 2 sen ini.
Salam,
Adi N
Sumber : milis IPOMS
Mental blok kita punya anggapan bahwa di atas 50% berarti lebih banyak baiknya, dan mendekati 100% itulah yang terbaik, padahal boleh jadi effort untuk mencapai dengan resikonya tidak seimbang. Dalam hal ini, hemat saya, kita tidak bisa mengatakan bahwa 99.98% adalah terbaik atau achievement yang luar biasa. Saya bisa katakan bahwa 70% boleh jadi sudah sangat baik, dan itu semua sangat tergantung dari setiap bisnis proses yang kita miliki.
Sebagai contoh, jika kita memproduksi alat pacu jantung, 99.98% dari 1 juta itu 200 unit yang dianggap diizinkan boleh rusak, apakah angka ini wajar? Tentu tidak, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap resiko nyawa orang. Atau, anggap saja, bukan jumlah alatnya yang rusak, tetapi 0.02% alatnya akan "hang" dalam 1 tahun, maka itu sama dengan 0.073 hari atau 1.752 jam atau 105.12 menit. Apakah angka ini reliable? Jelas tidak.
Contoh lain kita bisa katakan 60% bisa jadi adalah dianggap wajar dari sisi biaya adalah ketika kita menyimpan tingkat kerugian sebesar 40% dari stock, namun secara keseluruhan produk jadi, hal ini hanya kurang dari 0.05% cost of goods, sementara finished good yang kita produksi hanya sedikit dalam satu bulan. Dalam beberapa bisnis, kehilangan semacam ini boleh jadi masih dianggap wajar, apalagi jika raw materialnya termasuk yang jenis mudah menguap atau rusak dalam proses.
Salah satu pengalaman saya di salah satu 'BUMN' milik salah satu negara di Eropa yang membuat panel distribusi, baut atau kabel hilang itu bisa dianggap "biasa", karena kita menganggap sudah menjadi consumable part.
Bahkan, barang yang sangat spesifik pun meski menjadi slow moving dengan nilai puluhan ribu dolar, tidak "dianggap" stocknya, karena secara bisnis, material spesifik itu sudah dialokasikan dalam budget cost suatu project, jadi meski akhirnya tidak terpakai akibat adanya engineering change selama project berjalan, dan meski masih tercatat di stock, tidak dianggap sebagai "real stock", karena dari sudut biaya sudah dianggap sebagai cost of project.
Demikian pula, saya sama sekali tidak bisa membandingkan pula dengan pengalaman saya di automotive company dengan salah satu gold mining company, agak mirip dengan project based di atas. Jadi ada banyak dimensi ketika kita melakukan pengukuran terhadap sebuah proses, termasuk akurasi di dalamnya. Jadi, bisa dibayangkan, material spesifik itu jika hilang sekalipun, sama sekali bukan resiko, tetapi lebih kepada soal keamanan dan kultur di sebuah perusahaan.
Menurut hemat saya, berapapun angka yang menjadi patokan, semua itu seharusnya berawal dari semangat untuk selalu relentlessly improve the process. Dalam arti, bahwa hari ini kita bisa katakan 0.3% losses adalah wajar, namun besok harus diturunkan secara progresif dan berkesinambungan. Tidak ada hal yang paling sempurna di dunia ini kecuali kita selalu melakukan perubahan untuk menuju kesempurnaan.
Secara teknis, penting buat kita untuk mengerti berapa level "wajar" dan "tidak wajar" secara cost based maupun resiko, sehingga apa yang kita tetapkan adalah sesuatu yang masuk di akal. Penting buat kita untuk mencari tahu biaya yang muncul akibat kegagalan mencapai metrik itu "lawannya" apa. Ketika di manufacturing company, kehilangan 1% akan menjadi masalah, sebab di manufacturing, kita bermain dengan efisiensi, efektifitas, waktu, kultur (ini sering dilupakan karena akibat kultur, kebiasaan buruk bisa jadi akan menyebar), akan sangat berbeda di perusahaan yang bermain dengan project.
Di titik ini, penting buat kita yang menjadi pelaksana rutin di sebuah perusahaan, untuk mengejawantahkan konsep dan teori di buku maupun training-training ke dalam realitas. Buat saya, konsep tetaplah konsep, itu adalah acuan dan ketika di fisik lapangan, kita harus berbicara secara real, logis, dan dengan berbagai kesulitannya. Namun, penting untuk selalu mengatakan bahwa kita selalu punya semangat untuk bisa dan bisa mencapai hal yang lebih baik.
Kira-kira begitulah sekelumit pengalaman saya, mungkin yang lebih mengerti sistem dan punya banyak pengalaman bisa mengkritisi catatan 2 sen ini.
Salam,
Adi N
Sumber : milis IPOMS
Wednesday, June 27, 2012
MATERIAL HANDLING EQUIPMENT (MHE)
Pengertian: Peralatan yang digunakan untuk proses handling (material/barang/ parts/FG. .etc yang sejenis). MHE merupakan salah satu kunci managed well gudang, salah satunya untuk meningkatakn efesiensi space.
Jenis MHE:
1. Transport equipment
- Conveyor
- Crane
- Industrial truck
2. Unit load equipment
- Pallet
- Bin/basket
- Cartons
3. Storage equipment
- rack
- AS/RS
- Stacking frame
4. Control equipment
- Bar coding
- Portable data terminal
Perkembangan MHE (design dan bisnis) juga cukup menjanjikan dr tahun ketahun. Semua menyokong bisnis di bidang Warehousing dan SCM.
Sumber :
http://www.wikimhed a.org/
MHE WIKI.
Jenis MHE:
1. Transport equipment
- Conveyor
- Crane
- Industrial truck
2. Unit load equipment
- Pallet
- Bin/basket
- Cartons
3. Storage equipment
- rack
- AS/RS
- Stacking frame
4. Control equipment
- Bar coding
- Portable data terminal
Perkembangan MHE (design dan bisnis) juga cukup menjanjikan dr tahun ketahun. Semua menyokong bisnis di bidang Warehousing dan SCM.
Sumber :
http://www.wikimhed a.org/
MHE WIKI.
Stock Control : ABC Methode
Menurut buku Material Mng (tony arnold). Aturannya adalah :
1. Have plenty of low value items.
Item C bisa 50% dari inventory tetapi valuenya 5% dari total inventory value.
2. Use the money and control effort saved to reduce the inventory of high value items.
Item A mewakili 20% dari inventory tetapi valuenya 80% dari total inventory value.
Item A - high priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap bulan, jaga stok seminimal mungkin
Item B - medium priority
perlu kontrol biasa saja, stock ulang min setiap kuartal
Item C - low priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap 6 bulan, jumlah stok boleh lebih banyak dari kebutuhan
Item C bisa naik menjadi medium/high priority jika stok habis dan berakibat timbulnya masalah2 baru.
1. Have plenty of low value items.
Item C bisa 50% dari inventory tetapi valuenya 5% dari total inventory value.
2. Use the money and control effort saved to reduce the inventory of high value items.
Item A mewakili 20% dari inventory tetapi valuenya 80% dari total inventory value.
Item A - high priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap bulan, jaga stok seminimal mungkin
Item B - medium priority
perlu kontrol biasa saja, stock ulang min setiap kuartal
Item C - low priority
perlu kontrol sangat ketat, stock ulang min setiap 6 bulan, jumlah stok boleh lebih banyak dari kebutuhan
Item C bisa naik menjadi medium/high priority jika stok habis dan berakibat timbulnya masalah2 baru.
Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)
oleh Mohammad Syarwani
I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini
antara lain:
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste).
Bentuk kemubadziran antara lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik. Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi
konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3
cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.
I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini
antara lain:
- melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
- melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan
- kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
- terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
- terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
- penyimpanpersediaan, dll.
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste).
Bentuk kemubadziran antara lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik. Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi
konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3
cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.
Kartu Stock
Tahun 1986 di AHM memakai bin card (kartu stok gantung), padahal di thn86 AHM sdh computerized dan menggunakan barcode scanner RF.
Jika Bapak saat ini pergi ke AHM, kemungkinan besar di sana masih memakainya, saya terakhir ke AHM sekitar 5 thn lalu dan masih menggunakan kartu stok tsb. Jadi jika tidak efektif dan tdk efisien tentunya AHM tdk akan menggunakannya.
Di perusahaan Farmasi, Badan POM juga mensyaratkan kartu stok spt itu.
Kartu stok banyak macamnya, minimal 3 :
a. Kartu stok di meja.
b. Bin card barang digantung (format spt a), spt diminta BPOM.
c. Bin card lokasi (format per lokasi bukan per brg).
Fungsi kartu stok/bin card :
a. Pertanggung jawaban personil operasional gudang, jika data komputer berbeda dgn fisik, wasitnya bin card yg ditulis manual oleh opr gudang.
b. Memudahkan sampling setiap saat.
Layout gdg diisi nama brg : tergantung tipe layout yg Bapak inginkan jika Bapak menerapkan yg fixed bisa spt itu, tp jgn lupa hampir semua gudang tdk bisa menerapkan murni fixed location, krn biasanya 1 brg dpt disimpan di beberapa lokasi jika tempt tdk memungkinkan. Jadi kemungkinan besar ide menempel layout diberi tambahan nama/kode item tidak memungkinkan.
Sumber : milis IPOMS
Jika Bapak saat ini pergi ke AHM, kemungkinan besar di sana masih memakainya, saya terakhir ke AHM sekitar 5 thn lalu dan masih menggunakan kartu stok tsb. Jadi jika tidak efektif dan tdk efisien tentunya AHM tdk akan menggunakannya.
Di perusahaan Farmasi, Badan POM juga mensyaratkan kartu stok spt itu.
Kartu stok banyak macamnya, minimal 3 :
a. Kartu stok di meja.
b. Bin card barang digantung (format spt a), spt diminta BPOM.
c. Bin card lokasi (format per lokasi bukan per brg).
Fungsi kartu stok/bin card :
a. Pertanggung jawaban personil operasional gudang, jika data komputer berbeda dgn fisik, wasitnya bin card yg ditulis manual oleh opr gudang.
b. Memudahkan sampling setiap saat.
Layout gdg diisi nama brg : tergantung tipe layout yg Bapak inginkan jika Bapak menerapkan yg fixed bisa spt itu, tp jgn lupa hampir semua gudang tdk bisa menerapkan murni fixed location, krn biasanya 1 brg dpt disimpan di beberapa lokasi jika tempt tdk memungkinkan. Jadi kemungkinan besar ide menempel layout diberi tambahan nama/kode item tidak memungkinkan.
Sumber : milis IPOMS
Prosedur Pengambilan Barang
Pengambilan dengan “menyilet” packing dari samping? Jawabnya adalah salah besar, alasannya adalah waktu untuk menyilet dari samping jika dibandingkan dengan membuka packing sesuai standar-nya adalah jauh lebih lama, tingkat kecelakaan kerja akan sangat tinggi (dikhawatirkan barang akan jatuh dari lubang samping setelah di silet), keselamatan barang itu sendiri tidak terjamin.
Bagaimana caranya untuk mengambil barang terutama bilamana barang2 itu ada di dalam doos tertutup dan ada di rak bagian atas ? jawabnya tergantung ketinggian rak dan tergantung berat barang dan tergantung alat yang digunakan maksudnya adalah, jika raknya >dari 3 M dan barangnya berat, saran saya lebih baik dan lebih aman di turunkan dulu dan barangnya diambil dibawah, setelah itu barang dinaikkan kembali ke lokasi awal.
Akan tetapi jika rak < dari 3 M dan barangnya ringan bisa langsung diambil dengan tangga segitiga.
Apakah ada prosedur yang benar ? Jawabnya pasti ada, hanya saja prosedur di setiap organisasi adalah berbeda-beda. Masukan dari saya, jika anda melakukan pengukuran kecepatan picking maka harus benar-benar didukung dengan system yang bagus.
Misalnya saja di Picking Note/Nota Pengambilan Barang ada mencantumkan nama barang, kode barang, nomor lokasi barang, dari lot berapa barang boleh diambil (bukan operator yang menentukan tapi system).
Bagaimana caranya untuk mengambil barang terutama bilamana barang2 itu ada di dalam doos tertutup dan ada di rak bagian atas ? jawabnya tergantung ketinggian rak dan tergantung berat barang dan tergantung alat yang digunakan maksudnya adalah, jika raknya >dari 3 M dan barangnya berat, saran saya lebih baik dan lebih aman di turunkan dulu dan barangnya diambil dibawah, setelah itu barang dinaikkan kembali ke lokasi awal.
Akan tetapi jika rak < dari 3 M dan barangnya ringan bisa langsung diambil dengan tangga segitiga.
Apakah ada prosedur yang benar ? Jawabnya pasti ada, hanya saja prosedur di setiap organisasi adalah berbeda-beda. Masukan dari saya, jika anda melakukan pengukuran kecepatan picking maka harus benar-benar didukung dengan system yang bagus.
Misalnya saja di Picking Note/Nota Pengambilan Barang ada mencantumkan nama barang, kode barang, nomor lokasi barang, dari lot berapa barang boleh diambil (bukan operator yang menentukan tapi system).
Saturday, March 24, 2012
Key role of Supply Chain Manager
Tujuan utama dari memanage Supply Chain adalah bagaimana perusahaan dapat mencapai tujuan menyiapkan produk dalam jumlah yang tepat, pada saat yang tepat, dilokasi yang tepat, dengan kondisi/kualitas yang tepat, bagi pelanggan yang tepat, dan semua itu dengan biaya yang tepat (sering kali adalah yang paling cost efficient).
Untuk mencapai hal tersebut harus melakukan Demand Planning yang sempurna, Strategi sourcing yang tepat, Strategi produksi yang paling ekonomis dan timely, dan strategy distribusi yang cost efficient.
Keempat fungsi tersebut adalah inti dari Supply Chain. Tergantung dari pimpinan bagaimana mau mengorganisir fungsi tersebut. Bisa saja dibebankan kepada COO, bisa juga dirangkap oleh CEO (kalau perusahaannya tidak terlalu besar), bisa saja ada Supply Chain Director, dan bahkan bisa saja dibebankan kepada HRD bilamana perusahaannya adalah perusahaan jasa (tidak menghasilkan
produk).
Kalau Logistics lebih mengacu pada taktik eksekusi dari strategi supply chain yang sudah ditentukan di atas. Levelnya bisa Direktur (kalau perusahaan besar) atau sekedar 'staff logistik' untuk perusahaan yang kecil.
sumber : milis Asosiasi Logistic Indonesia
Untuk mencapai hal tersebut harus melakukan Demand Planning yang sempurna, Strategi sourcing yang tepat, Strategi produksi yang paling ekonomis dan timely, dan strategy distribusi yang cost efficient.
Keempat fungsi tersebut adalah inti dari Supply Chain. Tergantung dari pimpinan bagaimana mau mengorganisir fungsi tersebut. Bisa saja dibebankan kepada COO, bisa juga dirangkap oleh CEO (kalau perusahaannya tidak terlalu besar), bisa saja ada Supply Chain Director, dan bahkan bisa saja dibebankan kepada HRD bilamana perusahaannya adalah perusahaan jasa (tidak menghasilkan
produk).
Kalau Logistics lebih mengacu pada taktik eksekusi dari strategi supply chain yang sudah ditentukan di atas. Levelnya bisa Direktur (kalau perusahaan besar) atau sekedar 'staff logistik' untuk perusahaan yang kecil.
sumber : milis Asosiasi Logistic Indonesia
Replenishment
Replenishment memiliki arti umum, sperti yang bapak sebutkan itu. Jika jik amenggunakan arti umum, maka tidak ada bedanya kata mana kita menggunakan, misalnya refill, restock relocate. Kita menggunakan kata replensihment (continous replenishment) dalam arti istilah specific, yaitu sebagai "metode" pengisian ulang.
Untuk item "normal" moving, bisa, asalkan dapat mengantispasi potensi return atau unsold yang nantinya harus potong harga (markdown), padahal ditempat lain item itu tidak ada. "Slow" moving tidak bisa begitu, walau pengirman dengan item normal dan slow bisa bersaaman.
Baik Normal amupun slow, perlu evaluasi beberapa hal sebelum pengisian ulang (refill), termasuk shelve life, shelve space, warehouse space, item value, item application, dan prioritas refill
pada berbagai stock point dari stock yang ada, dll. Kemungkinan item slow ditempatkan pada 1 lokasi saja (inventory pool). Pengisian bisa bertingkat atau pengiriaman langsung ke end-users.
Untuk yang normal dan yang slow, waktu yang tersedia untuk evaluasi dan issue PO dan DO cukup.
Untuk lebih dalam tentang Metode Replenishment, saya anjurkan membaca buku:
1. Living Supply Chains (John Gatorna)
2. Supply Chains; A Manager's Guide (David Taylor)
Hendy Sitompul
Big 5 Consulting
sumber : milis Asosiasi Logistic Indonesia
Untuk item "normal" moving, bisa, asalkan dapat mengantispasi potensi return atau unsold yang nantinya harus potong harga (markdown), padahal ditempat lain item itu tidak ada. "Slow" moving tidak bisa begitu, walau pengirman dengan item normal dan slow bisa bersaaman.
Baik Normal amupun slow, perlu evaluasi beberapa hal sebelum pengisian ulang (refill), termasuk shelve life, shelve space, warehouse space, item value, item application, dan prioritas refill
pada berbagai stock point dari stock yang ada, dll. Kemungkinan item slow ditempatkan pada 1 lokasi saja (inventory pool). Pengisian bisa bertingkat atau pengiriaman langsung ke end-users.
Untuk yang normal dan yang slow, waktu yang tersedia untuk evaluasi dan issue PO dan DO cukup.
Untuk lebih dalam tentang Metode Replenishment, saya anjurkan membaca buku:
1. Living Supply Chains (John Gatorna)
2. Supply Chains; A Manager's Guide (David Taylor)
Hendy Sitompul
Big 5 Consulting
sumber : milis Asosiasi Logistic Indonesia
Manajemen Pergudangan
Manajemen Pergudangan adalah suatu sistem dari bahagian aktivitas Logistik.
Manajemen pergudangan mencakup kegiatan dari mulai penerimaan,penyimpanan,pemeliharaan dan pengeluaran barang dengan tata cara/prosedur yang baku agar selalu up to date (accountable, auditable and controlabel).
Manajemen pergudangan mencakup kegiatan dari mulai penerimaan,penyimpanan,pemeliharaan dan pengeluaran barang dengan tata cara/prosedur yang baku agar selalu up to date (accountable, auditable and controlabel).
Friday, March 23, 2012
Perbedaan Pergudangan dengan Cross-docking
Cross docking merupakan methode untuk meningkatkan velocity inventori dan mengurangkan biyaya karena melalui cross dock, barang tidak di simpan di dalam gudang (kalau ada hanya sekadar beberapa jam) i.e. apabila sampai, aktiviti receiving, putaway, dan pick, pack dan shipping itu berlaku di sistem dan bukan melalui aktiviti physical.
Barang akan langsung di salurkan oleh sistem melalui e.g. sistem conveyor ke shipping dock dimana beberapa truk telah sedia menunggu untuk distribusi selanjutnya.
Ada bermacam bentuk crossdocking tergantung kepada kesediaan supplier dan juga tahap informasi (atau level of IT). Sebagai contoh, kalau informasi mengenai tujuan spesifik (customer destination) sudah di ketahui supplier sebelum waktu mereka ship, maka supplier akan bisa palletize mengikut customer dan kebutuhun tertentu.
Hal seperti ini sangat cocok kerana ia akan memastikan waktu yang cukup pendek di gudang nanti. Tahap IT juga penting untuk memperbolehkan penggunaan bar coding, RFID etc untuk mempercepatkan lead time.
sumber : milis Asosiasi Logistic Indonesia
Tuesday, March 13, 2012
Belajar ERP Dari Mana?
Banyak yang bertanya kalau belajar ERP itu mulai dari mana?
Belajar ERP (Enterprise Resource Planning) adalah memang memerlukan effort yang sangat besar dikarenakan luasa cakupannya dan banyaknya bidang yang harus dipelajari serta multi disiplin, dimana bidang yang perlu dipelajari mulai dari belajar business processnya, membangun aplikasi ERP, membangun infrastruktur ERP, Implementasi ERP, sampai manitenance system ERP, dll.
Belajar business process sendiri cukup luas, mulai dari business process production/operations management, business process HR management, business process accounting and financial management, dll.
Belum lagi setiap ERP System harus dibangun dari tiga komponen utamanya,
1. Operating System (OS),
2. Aplikasi system (programming),
3. Database system.
Dimana di masing-masing komponen utama itu terdapat pilihan yang cukup beragam dari yang non opensource sampai dengan yang opensource.
Memang akirnya yang mempelajari ERP System akan menjadi spesialis dan terbagi keahlian2nya di bidang2 tertentu dalam membangun sebuah ERP System.
Untuk memulai mempelajari ERP system mulailah dengan belajar business prosess general dalam suatu Enterprisem. Akan sangat membantu sekali dalam mempelajari bidang-bidang lain dalam membangun ERP System.
MSY
Pusat Studi ERP Indonesia
http://www.ERPweaver.com
Sumber foto :
https://www.zdnet.com/article/case-study-how-traditional-erp-helped-meet-modern-business-expectations/
Belajar ERP (Enterprise Resource Planning) adalah memang memerlukan effort yang sangat besar dikarenakan luasa cakupannya dan banyaknya bidang yang harus dipelajari serta multi disiplin, dimana bidang yang perlu dipelajari mulai dari belajar business processnya, membangun aplikasi ERP, membangun infrastruktur ERP, Implementasi ERP, sampai manitenance system ERP, dll.
Belajar business process sendiri cukup luas, mulai dari business process production/operations management, business process HR management, business process accounting and financial management, dll.
Belum lagi setiap ERP System harus dibangun dari tiga komponen utamanya,
1. Operating System (OS),
2. Aplikasi system (programming),
3. Database system.
Dimana di masing-masing komponen utama itu terdapat pilihan yang cukup beragam dari yang non opensource sampai dengan yang opensource.
Memang akirnya yang mempelajari ERP System akan menjadi spesialis dan terbagi keahlian2nya di bidang2 tertentu dalam membangun sebuah ERP System.
Untuk memulai mempelajari ERP system mulailah dengan belajar business prosess general dalam suatu Enterprisem. Akan sangat membantu sekali dalam mempelajari bidang-bidang lain dalam membangun ERP System.
MSY
Pusat Studi ERP Indonesia
http://www.ERPweaver.com
Sumber foto :
https://www.zdnet.com/article/case-study-how-traditional-erp-helped-meet-modern-business-expectations/
Sunday, March 11, 2012
Strategi Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) adalah suatu strategi bisnis yang telah berhasil meningkatkan kualitas bisnis/usaha, baik di sektor swasta maupun public. Implementasi SCM memberikan dampak terhadap permintaan pasar yang semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut maka kebutuhan jaminan kualitas, ketepatan pengiriman, dan kecepatan distribusi juga meningkat.
Pada era informasi sekarang ini, supply chain yang terintegrasi memungkinkan organisasi untuk mengurangi inventori dan berbagai biaya, meningkatkan nilai (value) produk, mengembangkan resources, mempercepat waktu, dan mempertahankan konsumen.
Rekonfigurasi dan improvisasi terhadap kapabilitas supply chain dapat meningkatkan kualitas, fleksibilitas dan kepekaan interaksi antara perusahaan dengan konsumen ataupun dengan pemasoknya, yang secara otomatis akan mengoptimalkan biaya dan menciptakan pasar yang kompetitif Relationship atau interface improvement diantara `chain' di dalam konsep ISCM dilakukan untuk memperbaiki process outcome, meningkatkan performansi supply chain dan memberikan keunggulan berkompetisi.
Pada akhirnya, penajamanan aplikasi proses rantai pasok menjadi bagian utama para pelaku usaha di bidang logistik, manufaktur, jasa angkutan, ataupun institusi pemerintah untuk meningkatkan daya saingnya.
MSY
Pusat Studi ERP Indonesia
Sumber foto :
https://ipqi.org/10-strategi-meningkatkan-pengelolaan-rantai-pasokan-supply-chain-management/
Beda Supplier dengan Vendor
Pengertian supplier & vendor dari APICS Dictionary, 12th ed.
Supplier
1) Provider of goods or services. 2) Seller with whom the buyer does
business, as opposed to vendor, which is a generic term referring to
all sellers in the marketplace.
Vendor
Any seller of an item in the marketplace
Engineering Store / Warehouse
Tanggung jawab terkait dengan job yang harus dikerjakan meliputi :
- Design layout (6T) dan material flow yang efektif dan efisien (berpikir Safety + QDC) termasuk equipment support seperti Forklift (unloading) carrier (receiving & supply), Racking (storage system) dan sebagainya.
- Membuat operasional standard berdasarkan design material flow (dari receiving sampai supplying)
- Man power planning & control edukasi (skill map)
- Menetapkan standard packing untuk masing-masing item / parts
- Planning dan control budget (biaya operasional)
- Menetapkan standard control terhadap stock inventory
- Material Flow Maintenance system (periodical patrol 5S, Safety, etc.)
Evaluasi Supplier
Vendor Management & Claim di sebuah perusahaan logistic yang menangani masalah evaluasi supplier agar simple dan mudah di cerna banyak orang bisa menerapkan penilaian pada :
- Validitas data, baik legal maupun kondisi perusahaan berupa kapasitas dan penunjang produksinya (Registrasi).
- Delivery time.
- Product Quality per PO/Delivery dan Quantity delivered.
- Support service atas claim product bermasalah.
- TOP dan Analisa harga.
- Customer service support, pelayanan/komunikasi mulai dari registrasi sampai adanya supply product.
Sumber foto :
https://www.industryweek.com/supplier-relationships/case-supplier-development
PPIC
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi:
PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Requirement Plan) untuk satu tahun dan 6 bulan kedepan baik itu produksi maupun material yang dibutuhkan berdasarkan data dari Dept Marketing (seperti forecasting permintaan produk/jasa dan lainnya), Dept IE (seperti perhitungan kapasitas produksi, time study dan lainnya). dan Dept Procurement (seperti data supplier, list long lead time supplier, list lead time material dan lainnya) serta Dept PPIC sub Logistik (data inventory di gudang, data ketersediaan produk di distributor/ agen, data ekspor/impor material dan lainnya)
PPIC Schedulling, bertugas membuat penjadwalan produksi detail (per hari, minggu, bulan dan tiga bulanan) atau biasa juga disebut LOAD PLAN berdasarkan MPP.
PPIC Logistik, bertugas mengontrol perusahaan logistik sehingga dihasilkan data inventory, data ketersediaan produk di distributor/ agen, data ekspor/impor material, rencana pengiriman produk dan lainnya)
Investigasi Kehilangan Barang
Problem di gudang biasanya bukan SOP-nya yang tidak ada, tapi pelaksanaan SOP di lapangan.
Yang bisa membantu melacak kehilangan barang, antara lain :
a. Penerapan Sistem barcode unique, tiap dus barang diberi barcode yg unik, dengan sistem ini setiap dus barang seakan memiliki 'watch dog'nya masing-masing, yang bisa dilacak : keberadaannya (lokasi), expired date, status, dsb.
b. Stok opname tiap hari full secara cepat (maks 1 jam).
c. Bin card.
d. Software gudang, Warehouse Management System Software, bukan hanya Inventory Management Software.
Pertama harus di investigasi apakah kehilangan tersebut karena faktor di curi oleh karyawan atau masalah administrasi yang tidak rapih
Jika masalahnya karena pencurian maka perlu dilakukan lokalisasi barang2 yang mudah di curi atau paling di gemari oleh pencuri. Perketat akses keluar masuk gudang, perkecil kemungkinan penyalah gunaan wewenang dan buat shock terapi melalui sidak loker dan tas karyawan. Atau jika ditemukan pelakunya maka agar di proses ke kepolisian untuk menimbulkan efek jera bagi yang lain. Kemudian buat berita besar2 pada karyawan agar yang lainnya tidak berani melakukan lagi.
Jika masalah administrasi maka perlu dibuat report harian yang tujuannya sebagai alat kontrol bagi kerja karyawan. Secara sederhana adalah dengan melihat akurasi lokasi penyimpanan barang di gudang, akurasi tersebut di hitung berdasarkan fisik yang ada dilapangan dan juga berdasarkan data system.
Dari report tersebut akan banyak action plan yang harus dibuat sehubungan finding lapangan di dalam audit harian. Dan tugas manager warehouse adalah memastikan action plan tersebut dilaksanakan dan berjalan sesuai target.
wms akan sangat membantu kinerja digudang tapi yang paling penting adalah membiasakan karyawan melakukan operasional gudang sesuai dengan standart kerja yang ada. Sebagus apapun wms kalo karyawan tidak mengerti pentingnya sop maka hanya akan menghambat kerja.
milis APICS-ID
Yang bisa membantu melacak kehilangan barang, antara lain :
a. Penerapan Sistem barcode unique, tiap dus barang diberi barcode yg unik, dengan sistem ini setiap dus barang seakan memiliki 'watch dog'nya masing-masing, yang bisa dilacak : keberadaannya (lokasi), expired date, status, dsb.
b. Stok opname tiap hari full secara cepat (maks 1 jam).
c. Bin card.
d. Software gudang, Warehouse Management System Software, bukan hanya Inventory Management Software.
Pertama harus di investigasi apakah kehilangan tersebut karena faktor di curi oleh karyawan atau masalah administrasi yang tidak rapih
Jika masalahnya karena pencurian maka perlu dilakukan lokalisasi barang2 yang mudah di curi atau paling di gemari oleh pencuri. Perketat akses keluar masuk gudang, perkecil kemungkinan penyalah gunaan wewenang dan buat shock terapi melalui sidak loker dan tas karyawan. Atau jika ditemukan pelakunya maka agar di proses ke kepolisian untuk menimbulkan efek jera bagi yang lain. Kemudian buat berita besar2 pada karyawan agar yang lainnya tidak berani melakukan lagi.
Jika masalah administrasi maka perlu dibuat report harian yang tujuannya sebagai alat kontrol bagi kerja karyawan. Secara sederhana adalah dengan melihat akurasi lokasi penyimpanan barang di gudang, akurasi tersebut di hitung berdasarkan fisik yang ada dilapangan dan juga berdasarkan data system.
Dari report tersebut akan banyak action plan yang harus dibuat sehubungan finding lapangan di dalam audit harian. Dan tugas manager warehouse adalah memastikan action plan tersebut dilaksanakan dan berjalan sesuai target.
wms akan sangat membantu kinerja digudang tapi yang paling penting adalah membiasakan karyawan melakukan operasional gudang sesuai dengan standart kerja yang ada. Sebagus apapun wms kalo karyawan tidak mengerti pentingnya sop maka hanya akan menghambat kerja.
milis APICS-ID
Saturday, March 10, 2012
Heijunka : Leveling Production
Kebanyakan perusahaan mencari cara mudah dalam penjadwalan produksi yaitu dengan menggunakan sistem batch. Satu jenis produk diproduksi dalam jumlah besar, lalu diganti dengan produksi untuk jenis produk lain juga dalam jumlah yang besar sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Mengurangi frekwensi set-up biasanya menjadi pertimbangan utama untuk menjadwalkan produksi dengan sistem batch. Dalam TPS penjadwalan sistem batch justru dihindari. Mereka lebih memilih heijunka.
Ketimbang menjadwalkan produksi untuk produk A selama satu minggu, lalu produk B satu minggu berikutnya, mereka lebih memilih untuk memproduksi produk A dan B bergantian setiap hari, atau mungkin setiap jam.
Keuntungan utama dari heijunka adalah pembebanan yang stabil untuk sistem produksi. Keuntungan lain adalah berkurangnya tingkat persediaan dalam proses produksi dan juga menghindari lonjakan-lonjakan permintaan ke pemasok.
Untuk dapat menerapkan konsep heijunka, membuat waktu set-up seminimal mungkin adalah persyaratan mutlak.
Contoh heijunka:
Suppose a factory should produce the following products (20 days/month, 8 hours/day):
Product A: 1000 pcs -> 50 pcs/day
Product B: 600 pcs -> 30 pcs/day
Product C: 400 pcs - 20 pcs/day
If there are 8 hours x 60 minutes = 480 minutes in a day, so:
Product A: 480/50 = 9.8 minutes/pcs
Product B: 480/30 = 16 minutes/pcs
Product C: 400/20 = 24 minutes/pcs
Total production in a day is (50+30+20) pcs = 100 pcs
Takt Time (the time it takes to produce one piece of products)= 480 minutes/100 pcs
= 4.8 minutes/pcs or 10 pcs/48 minutes.
Per 48 minutes :
Product A: 5 pcs
Product B: 3 pcs
Product C: 2 pcs
Sequencing is A-B-A-C-A-B-A-C-A-B ->repeadly in 480 minutes/48 minutes = 10 times in a day
Sumber: http://www.ibrosys.com/
Komponen Rantai Supply
Menurut Turban, Rainer, Porter (2004, h321), terdapat 3 macam komponen rantai suplai, yaitu:
Rantai Suplai Hulu / Upstream supply chain.
Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan para penyalurannya (yang mana dapat manufaktur, assembler, atau kedua-duanya) dan koneksi mereka kepada pada penyalur mereka (para penyalur second-trier). Hubungan para penyalur dapat diperluas kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (contohnya bijih tambang, pertumbuhan tanaman).
Di dalam upstream supply chain, aktivitas yang utama adalah pengadaan.
Manajemen Rantai Suplai Internal / Internal supply chain management
Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses pemasukan barang ke gudang yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan masuk ke dalam organisasi. Di dalam rantai suplai internal, perhatian yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi, dan pengendalian persediaan.
Segmen Rantai Suplai Hilir / Downstream supply chain
Downstream (arah muara) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada distribusi, pergudangan, transportasi, dan after-sales-service.
SCM yang dibangun dengan perencanaan yang komprehensif yang menjadikan group bisnis seperti Toyota, Honda, Nisan, Daihatsu, dll menjadi kekuatan dan raksasa bisnis dunia.
JIT di Toyota
Bagaimana JIT bisa smoothly running di Toyota
from: conglie <kicong@gmail. com>
Sekitar bulan December (Toyota menganut tahun fiscal April to Maret) Company akan mengeluarkan Forecast penjualan tahunan kemudian akan diikuti dengan Company action plant yang telah menetapkan KPI yang harus dicapai....
Kemudian semua divisi akan mulai bergerak menyususn budget yang dibutuhkan terkait dengan Breakdown, Repair, Expense dan Invesment yang semua terkait dengan kebutuhan produksi tahun tersebut dengan basic Gentan-I (Rp/unit untuk setiap part, proses, repair, etc) Planning Control akan menyiapkan Getsudo (rencana produksi) tahunan yang akan terkait dengan kebutuhan dan akan dievaluasi untuk mengeluarkan Getsudo bulanan dalam assembling meeting, sesuai data dari marketing.
Produksi akan memproduksi sesuai kebutuhan kanban yang disiapkan oleh CCR dan agar pencapaian sesuai dengan target maka OEE harus dijaga sesuai target (sekiatr 92 % s/d 95% sesuai line) dimana masing masing lini bergerak sesuai dengan tugas masing masing Maintenance akan menjaga Avaibility, Quality dan produksi akan menjaga Rate of Quality, Engineering dan Produksi akan menjaga Performance
Effeciency yang terkait dengan gerakan orang.
Semua gerakan ini diatur dengan 3sheet Standardize Work (SW) yaitu TSK/TSKK, EIS, SOP baik untuk SW type 1 (pekerjaan konstan), type 2 (perkerjaan peridically) dan Type 3 (pekerjaan yang tidak konstant
untuk pekerjaan leader atau staff) dalam satu satuan waktu yang telah ditetapkan, dan terus dilakukan kaizen seperti relayout, cycle time change, etc yang juga akan mengubah TSK/TSKK untuk mendapatkan kondisi yang paling effesien.
Demikian juga supplier part waktu pengirimannya diatur sesuai dengan waktu dan frequency yang telah ditetapkan, untuk mengefesiensikan pengiriman part ini agar kebutuhan kendaraan dan ketepatan waktu bisa menjadi lebih baik digunakan system Milk Run terutama untuk supplier yang satu jalur.
Agar tidak mengganggu proses produksi...part defect dari supplier dijaga maksimal 10 Ppm..(its mean zero defect)..untuk itu Purchaching dengan divisi terkait wajib mendevelopt supplier agar dapat mencapai target tersebut.
Selain itu agar mendapatkan keuntungan yang significant dilakukan aktivitas Cost Reduction dengan mengurangi Muda Mura Muri dengan cara menurunkan defect inprocess, defect part, CR Budget, reduce breakdown dengan TPM, reduce maintenance part, reduce kertas, reduce air, reduce listrik dan menurunkan Gentan-I, etc etc....
Setiap pagi evaluasi harian Productivity dan quality dalam Asakai, tiap bulan evaluasi total dalam berbagai meeting, tiap 3 bulan evaluasi action plant, dan tiap tahun melakukan refleksi pencapaian
tahun ini agar diketahui worst condition yang harus di kaizen di tahun depan...
Dan akhirnya Serikat pekerja dengan semua data data jumlah produksi, effesiensi dan CR yang dicapai akan berunding dengan Company untuk mendapatkan angka Bonus yang bisa memuaskan karyawan.
Terus pada saat Global krisis seperti ini, apa yang dilakukan Toyota...... ."Radical Cost Reduction" menggali semua sisi, semua lubang semua celah yang bisa di cost reduction, tanpa menghilangkan
hak karyawan.
from: conglie <kicong@gmail. com>
Sekitar bulan December (Toyota menganut tahun fiscal April to Maret) Company akan mengeluarkan Forecast penjualan tahunan kemudian akan diikuti dengan Company action plant yang telah menetapkan KPI yang harus dicapai....
Kemudian semua divisi akan mulai bergerak menyususn budget yang dibutuhkan terkait dengan Breakdown, Repair, Expense dan Invesment yang semua terkait dengan kebutuhan produksi tahun tersebut dengan basic Gentan-I (Rp/unit untuk setiap part, proses, repair, etc) Planning Control akan menyiapkan Getsudo (rencana produksi) tahunan yang akan terkait dengan kebutuhan dan akan dievaluasi untuk mengeluarkan Getsudo bulanan dalam assembling meeting, sesuai data dari marketing.
Produksi akan memproduksi sesuai kebutuhan kanban yang disiapkan oleh CCR dan agar pencapaian sesuai dengan target maka OEE harus dijaga sesuai target (sekiatr 92 % s/d 95% sesuai line) dimana masing masing lini bergerak sesuai dengan tugas masing masing Maintenance akan menjaga Avaibility, Quality dan produksi akan menjaga Rate of Quality, Engineering dan Produksi akan menjaga Performance
Effeciency yang terkait dengan gerakan orang.
Semua gerakan ini diatur dengan 3sheet Standardize Work (SW) yaitu TSK/TSKK, EIS, SOP baik untuk SW type 1 (pekerjaan konstan), type 2 (perkerjaan peridically) dan Type 3 (pekerjaan yang tidak konstant
untuk pekerjaan leader atau staff) dalam satu satuan waktu yang telah ditetapkan, dan terus dilakukan kaizen seperti relayout, cycle time change, etc yang juga akan mengubah TSK/TSKK untuk mendapatkan kondisi yang paling effesien.
Demikian juga supplier part waktu pengirimannya diatur sesuai dengan waktu dan frequency yang telah ditetapkan, untuk mengefesiensikan pengiriman part ini agar kebutuhan kendaraan dan ketepatan waktu bisa menjadi lebih baik digunakan system Milk Run terutama untuk supplier yang satu jalur.
Agar tidak mengganggu proses produksi...part defect dari supplier dijaga maksimal 10 Ppm..(its mean zero defect)..untuk itu Purchaching dengan divisi terkait wajib mendevelopt supplier agar dapat mencapai target tersebut.
Selain itu agar mendapatkan keuntungan yang significant dilakukan aktivitas Cost Reduction dengan mengurangi Muda Mura Muri dengan cara menurunkan defect inprocess, defect part, CR Budget, reduce breakdown dengan TPM, reduce maintenance part, reduce kertas, reduce air, reduce listrik dan menurunkan Gentan-I, etc etc....
Setiap pagi evaluasi harian Productivity dan quality dalam Asakai, tiap bulan evaluasi total dalam berbagai meeting, tiap 3 bulan evaluasi action plant, dan tiap tahun melakukan refleksi pencapaian
tahun ini agar diketahui worst condition yang harus di kaizen di tahun depan...
Dan akhirnya Serikat pekerja dengan semua data data jumlah produksi, effesiensi dan CR yang dicapai akan berunding dengan Company untuk mendapatkan angka Bonus yang bisa memuaskan karyawan.
Terus pada saat Global krisis seperti ini, apa yang dilakukan Toyota...... ."Radical Cost Reduction" menggali semua sisi, semua lubang semua celah yang bisa di cost reduction, tanpa menghilangkan
hak karyawan.
Saturday, January 28, 2012
Memotong Rantai Distribusi Pasar
Hendrika Yunapritta, Sri Sayekti
Pelaku bisnis otomotif lokal telah memiliki alternatif pasar di dunia maya. Anggotanya mulai dari agen tunggal pemegang merek (ATPM) hingga toko suku cadang. Pasar ini bisa memotong biaya hingga 40%. Ini portal business to business (B2B) yang ingin menyusul kesuksesan pasar maya mancanegara.
Semurah atau sebaik apa pun sebuah produk tidak akan sampai ke tangan konsumen tanpa bantuan jasa distribusi. Untuk produk-produk tertentu, jaringan distribusinya bisa melibatkan banyak pelaku bisnis. Industri otomotif mungkin bisa menjadi contoh. Mata rantai distribusi di industri yang satu ini ternyata tidak hanya sampai terjualnya kendaraan, tapi juga kegiatan purnajual.
Maklum, sepanjang hidup kendaraan masih akan membutuhkan beragam komponen atau suku cadang. Masalahnya, biaya yang harus ditanggung konsumen bisa membengkak jika mata rantai distribusi kelewat panjang. Nah, rantai distribusi inilah yang ingin dipotong.
Rencananya, pasar maya tadi bakal dipenuhi oleh produsen kendaraan bermotor dan suku cadang, ATPM, dealer, serta toko suku cadang. Mereka bisa saling berkomunikasi, saling memprediksi permintaan, mengecek harga barang, bahkan melakukan transaksi di sana. "Bisa meminimalkan inventori dan pengiriman barang jadi lebih cepat," jelas Indra M. Utoyo, Project Director B2B Commerce Project Telkom yang juga bakal menggarap pasar maya industri farmasi.
Tentu saja, pasar maya ini tidak melayani pembelian eceran. Pemesanan harus dalam partai besar. Misalnya antara dealer dengan ATPM atau produsen suku cadang dengan toko suku cadang. Toko suku cadang alias retailer bisa membayarnya dengan kartu kredit. Keamanan transfer data dijamin oleh i-trust milik Telkom.
Ada prakondisi yang diminta oleh Oto-one: pelanggannya harus fasih dengan komputer. "Bukan internet literacy lho," kata M. Yusrizki, CEOOtogenik.
Soal situs dan jaringan bukan masalah besar. Sebab, sebagai penyedia application service provider (asp) ini, Oto-one bisa membuatkannya. Di samping itu, menurut Indra, sistem internal perusahaan juga sudah harus rapi. Jadi, ketika sistem pasar maya ini diintegrasikan, tidak akan ada masalah.
Investasi untuk membangun pasar maya ini tak murah. Menurut Indra, selama tiga tahun belakangan Oto-one.com sudah mengeluarkan dana sekitar US$ 3 juta. Karena itu, Oto-one.com akan memungut biaya bulanan kepada anggotanya. Untuk ATPM besarnya Rp 10 juta per bulan, Rp 2,5 juta untuk dealer; Rp 250.000 untuk retailer, serta Rp 400.000 bagi pemasok. Ongkos ini jauh sebenarnya lebih murah ketimbang masing-masing pelaku bisnis membuat portal B2B yang bisa mencapai US$ 2 juta.
Belum lagi ongkos pemeliharaan dan upgrade-nya. Bisa menghemat biaya sampai 40%
Sepintas memang seperti memindahkan pasar dan rantai distribusi ke layar monitor. Tapi, kenyataannya tidak semudah itu. Semenjak diluncurkan April lalu, saat ini baru ada beberapa pelaku bisnis otomotif yang membangun jaringan implementasi Oto-one. Ada produsen aki raksasa Yuasa, SCS (importir velg di DKI), sebuah ATPM, serta distributor oli nasional. Tentu saja, setiap perusahaan itu juga menggandeng para pengecernya. Padahal, pasar maya ini mampu memangkas mata rantai dan biaya distribusi. "Ongkos distribusi bisa dipangkas hingga 42%," jelas Indra.
Yusrizki sendiri menargetkan bakal menggaet pelanggan sebanyak 10% dari pelaku bisnis otomotif pada tahun pertama. "Tidak ambisius kan?," katanya. Indra pun bersikap realistis dan memprediksikan saat kembali modal selama lima tahun. "Ini kan sesuatu yang baru," ujar Indra.
Meski pertumbuhannya lambat, ia menaruh optimisme besar pada pasar otomotif. Soalnya, produk otomotif bisa ratusan macam. Apalagi dilihat dari jumlah kendaraan di Indonesia. "Mereka tiap tahun butuh ban, aki, dan macam-macam komponen," kata Indra lagi.
Sebenarnya, pasar maya otomotif begini bukan barang baru di dunia internasional. Beberapa pasar maya telah mencatat sukses dan menjadi patokan portal B2B. Sebut saja Covisint yang didirikan beramai-ramai oleh General Motor, Ford, dan Daimler Chrysler. Yusrizki sendiri mengambil patron KNX atau Korea Network eXchange yang didirikan raksasa mobil KIA dan Hyundai dengan merangkul Korea Telecom.
Soal penetrasi internet Indonesia yang masih rendah, baru sekitar 3 juta netter, juga bukan masalah bagi Yusrizki. Dia percaya bahwa pelaku bisnis otomotif bakal tergiur. "Mereka sudah mengenal konsepnya, tapi belum yakin," kilahnya.
sumber : kontan
Sumber foto :
http://supplychainindonesia.com/new/rantai-pasok-pangan-food-supply-chain/
Subscribe to:
Posts (Atom)