Rantai pasok yang boros dan sampah makanan bisa bernilai Rp550 triliun
21/06/2021 06:03 WIB
Tahukah Anda bahwa nilai sisa makanan kita ditambah kehilangan (loss) dalam proses produksi bahan makanan bisa mencapai Rp550 triliun? Hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menunjukkan betapa besarnya manfaat yang hilang akibat inefisiensi dalam proses produksi dan cara makan yang keliru.
Kementerian PPN mengkaji masalah tersebut bersama Waste4Change dan didukung oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia, serta United Kingdom Foreign, Commonwealth, and Development Office (UKFCDO). Fokus penelitian ini pada Food Loss and Waste (FLW).
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang antara proses panen dan proses konsumsi. Food loss adalah hilangnya kualitas makanan pada proses rantai pasokan, mulai dari produksi (panen), pengemasan, penyimpanan, distribusi, penjualan, sampai diterima konsumen.
Sementara itu, food waste mengacu pada sisa makanan yang timbul pada bagian akhir supply chain, yaitu penjualan dan konsumsi, baik karena tidak termakan, rusak, atau kedaluwarsa. Saban tahun, setiap orang rata-rata membuang lebih dari 100 kilogram sampah makanan atau setara dengan 61 sampai 125 juta porsi makanan.
Kerugian ekonomi akibat food waste selama 20 tahun terakhir bahkan setara 4 sampai 5 persen PDB, atau mencapai Rp213 triliun sampai Rp551 triliun per tahun. Fakta ini mengemuka dalam webinar yang mendiskusikan hasil kajian Food Loss and Waste (FLW) Kementerian PPN/Bappenas, Rabu (9/6/2021).
Dalam webinar tersebut juga dikemukakan bahwa kerugian di sektor lingkungan akibat timbulan FLW pada periode 2000-2019 atau selama dua dekade, mencapai 23-48 juta ton per tahun. Jumlah itu setara dengan limbah per kapita sebesar 115-184 kilogram per tahun.
Pada periode yang sama, efek kehilangan pasca-produksi dan sampah makanan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) ternyata sangat besar. Timbulan sampah makanan tersebut menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen atau setara 7,29 persen rata-rata emisi GRK Indonesia per tahun.
Kehilangan (loss) dalam mata rantai pasokan didominasi oleh jenis padi-padian, seperti beras, jagung, gandum, dan produk-produk sejenis. Namun, jenis pangan yang prosesnya paling tidak efisien adalah sayur-sayuran. Kehilangannya bisa mencapai 62,8 persen dari seluruh suplai domestik sayur-sayuran yang ada di Indonesia.
“Dengan menyajikan sejumlah hasil analisis yang bersifat evidence-based, kajian Food Loss and Waste di Indonesia ini bisa menjadi pedoman atau referensi bagi para pengambil kebijakan, sehingga implementasi pembangunan rendah karbon di Indonesia dapat memenuhi target” ujar Menteri Suharso Monoarfa dalam webinar tersebut.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan komposisi sampah di Indonesia pada 2020 didominasi sisa makanan, yakni mencapai 39,74 persen.
William, mantan chef hotel bintang empat di Indonesia berkisah, sebelum pandemi, setiap hari sampah dari dapur hotel bisa lebih dari tiga tempat sampah ukuran 240 liter. “Setiap hari ada bahan dan makanan yang harus dibuang. Tidak boleh dibagikan atau dibawa pulang karyawan karena alasan liabilitas,” ujar William kepada Lokadata, Jumat (11/6/2021).
Produk makanan seperti daging ayam, sapi, dan ikan hampir 80 persennya bisa diolah. Sisanya ada yang bisa dimanfaatkan, tapi tidak semua hotel melakukannya. Lain halnya dengan sayur-mayur. Biasanya hanya 60 persen yang layak olah. "Kehilangan banyak terjadi saat mengupas kulit atau membuang bagian sayur yang tidak layak olah."
Banyaknya volume sampah yang dibuang hotel tergantung aktivitas pada hari itu. Semakin banyak event dan orang yang terlibat, semakin banyak pula sampah makanan yang dibuang.
Memanfaatkan makanan terbuang
Lewat gerakan food bank, Garda Pangan mencoba mengumpulkan dan memanfaatkan makanan yang terbuang atau tidak laku terjual. Social enterprise yang berbasis di Surabaya dan Malang, Jawa Timur ini melakukannya lewat penyelamatan makanan dari berbagai industri hospitality dan bisnis makanan.
Garda Pangan bekerja sama dengan restoran, toko roti, distributor buah, dan lain sebagainya. “Kalau ada makanan yang tidak terjual hari itu dan masih sangat layak makan, dijemput oleh teman-teman relawan. Kemudian kita sortir untuk memastikan higienitas dan keamanannya, dan membagikannya kepada mereka yang membutuhkan,” ujar Eva Bachtiar, salah satu pendiri Garda Pangan.
Sumber food waste lain adalah acara berskala besar seperti festival atau resepsi perkawinan. Garda Pangan pernah menyelamatkan 500 porsi makanan yang akan dibuang pada satu pesta.
Masalah food loss dan food waste kian mendesak untuk diatasi. Mengurangi 50 persen sampah makanan pada 2030 juga jadi salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Menurut Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup, dalam webinar yang sama mengungkapkan, setidaknya ada tiga aktor besar yang punya andil dalam masalah food loss dan food waste ini.
Pertama, peritel atau distributor. Misalnya, promosi buy one get two seringkali membuat konsumen membeli makanan yang tidak perlu. Karena itu, manajemen stok yang efisien sangat dibutuhkan agar stok yang tersedia menjadi sampah. Upaya ini seharusnya masuk dalam strategi pemasaran, dan penyimpanan produk.
Kedua, industri jasa makanan. Semua restoran memiliki standar porsi yang sama untuk semua orang. Akibatnya, kata Rosa, selalu saja ada makanan tersisa. Selain itu, model penjualan all you can it juga menjadi penyumbang sampah makanan. Model ini membuat konsumen mengambil makanan yang berlebihan.
Ketiga, konsumen juga menjadi penyumbang yang besar. Misalnya, banyak konsumen membeli makanan yang sebetulnya tidak dibutuhkan, tidak menghabiskan makanan yang sudah dibeli, dan membeli bahan makanan yang terlalu banyak, sehingga mengakibatkan busuk atau kedaluwarsa.
Menurut Rosa, setiap tahun Indonesia membuang sampah makanan sebanyak 20,8 juta ton per tahun. Jumlah itu setara dengan 30,58 persen dari total makanan yang dikonsumsi. Rata-rata sampah makanan di Indonesia masih lebih rendah dari negara-negara Asia Tenggara yang mencapai 43,5 persen.
Tapi, tentu saja, hal itu tak bisa jadi pembenar bahwa sampah makanan kita tak sebanyak negara tetangga.
Sumber :
https://lokadata.id/artikel/rantai-pasok-yang-boros-dan-sampah-makanan-bisa-bernilai-rp550-triliun