Supply Chain Management (SCM) adalah serangkaian kegiatan yang meliputi koordinasi, penjadwalan, dan pengendalian terhadap pengadaan, produksi, persediaan dan pengiriman produk ataupun layanan jasa kepada pelanggan yang mencakup administrasi harian, operasi , logistik dan pengolahan informasi mulai dari customer hingga supplier.
Tuesday, July 28, 2020
Inovasi Teknologi Kargo dari Maskapai Penerbangan
28 July 2020
Perusahaan maskapai kini beradu di ranah logistik kargo dalam upaya menyelamatkan diri dari pengaruh pandemi. Cerahnya potensi bisnis platform e-commerce yang belum menunjukkan tanda penyurutan menambah optimisme untuk terjun ke sana.
Dibukanya ranah bisnis baru ini oleh pemerintah karena okupansi penumpang menurun drastis karena pemberlakuan PSBB dan kompaknya penutupan pintu masuk kedatangan turis oleh berbagai negara. Akhirnya ratusan pesawat harus dikandangkan (grounded) dan merumahkan karyawannya demi efisiensi.
Di sisi lain, pemain “dadakan” menguntungkan para pemain logistik last mile karena semakin banyak pilihan armada yang bisa mereka pilih untuk pengiriman antar pulau. Hanya saja, inovasi teknologi yang dihadirkan maskapai lokal tidak jauh berbeda dengan apa yang kebanyakan ditawarkan perusahaan logistik last mile.
International Air Transport Association (IATA) bersama PwC merekomendasikan pemain maskapai untuk membuat solusi yang bisa mengatasi pain point dari pemain e-commerce. Dalam penelitiannya, mereka mengklasifikasikan 50 pemain e-commerce global teratas berdasarkan empat kategori model logistik yang mereka anut dan pain-point dari kategori tersebut.
Masalah tersebut adalah kurangnya visibilitas; risiko keterlambatan; ketergantungan pada pihak ketiga; kontrol perbatasan dan masalah logistik terbalik. Keseluruhan masalah ini bisa diatas oleh kargo udara. Ada empat model bisnis yang bisa ditawarkan, bisnis yang terdedikasi penuh; pengirim barang lewat udara; hybrid; atau Courier, Express, and Parcel (CEP).
“Rekomendasi kami adalah menentukan model logistik mana yang ingin mereka layani dan bekerja untuk memperbaiki pain-points tersebut bersama-sama, menggunakan pendekatan jaringan transportasi ujung ke ujung. Menghubungkan para pihak melalui berbagi data akan, pada gilirannya, mengoptimalkan proses mereka.”
Inovasi teknologi ini punya andil penting dalam mendukung ekosistem. Punya obyektif yang sama, tapi implementasi yang beda saat masih fokus pada bisnis pengangkutan penumpang. Misalnya penggunaan aplikasi dengan beragam fitur untuk permudah booking pesawat, atau memesan makanan in-flight dengan beragam metode pembayaran.
Menyeriusi bisnis kargo
Direktur Utama AirAsia Indonesia Veranita Yosephine Sinaga menerangkan, bisnis kargo kini menjadi salah satu bisnis utama dalam layanan charter yang paling berkontribusi terhadap bisnis grup. Pertumbuhannya diklaim kian meningkat selama pandemi. Sayangnya, ia tidak mencantumkan angka detail lebih dalam.
Sebagai catatan, AirAsia menjalankan bisnis kargo di bawah entitas terpisah bernama Teleport sejak 2018. Di bawah entitas ini, AirAsia memosisikan diri sebagai penyedia jasa kargo udara untuk pasar kargo ritel dalam negeri melayani kebutuhan pengiriman barang dan komoditas dengan jumlah relatif sedikit ke berbagai kota di Indonesia dan Asia Pasifik.
Pengirimannya dengan menggunakan aset AirAsia yang terdiri dari pesawat penumpang (passenger charter) dan pesawat kargo (cargo charter). Jenis Airbus A320-200 yang dapat dioperasikan dalam dua konfigurasi, khusus kargo kapasitasnya berjumlah 17 ton, sementara penerbangan angkut penumpang, ruang kargo yang tersedia sekitar 5-6 ton.
“Dalam periode pemulihan ekonomi saat ini, bisnis kargo menjadi sangat vital untuk menggenjot roda perekonomian. Melalui Teleport Indonesia, kami akan segera melakukan ekspansi di Indonesia dengan tidak hanya berfokus melayani perusahaan pengiriman, tetapi juga bisnis e-commerce yang sangat tinggi permintaannya di Indonesia,” terangnya kepada DailySocial.
Kondisi yang berbeda dimiliki Garuda Indonesia. Perusahaan pelat merah ini tergolong masih baru terjun ke industri logistik. Saat ini hanya Citilink yang sudah memiliki unit pesawat kargo (freight), sedangkan Garuda belum.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, selama ini perusahaan terlalu sibuk di bagian penumpang. Padahal di dalam badan pesawat, kurang lebih terdiri atas 50% bagian atas [penumpang] dan 50% bagian bawah [kargo].
Sebelumnya dalam kondisi normal, bisnis pengangkutan penumpang di Garuda Indonesia menyumbang 80% dari total bisnis. Kini bisnis penumpang anjlok hingga 90%. Bisnis kargo dan carter diproyeksikan bisa berkontribusi antara 40%-60%.
“Kita sangat sibuk mengurus di bagian atas yang tentunya memang penting, namun kita melupakan bagian bawah,” kata Irfan dikutip dari Republika.
Dia melanjutkan, “Moda transportasi pengiriman barang yang paling murah dan cepat adalah pesawat. Oleh sebab itu, sekarang kami sangat fokus untuk diskusi soal kargo, dan tampaknya semua maskapai memikirkan hal yang sama.”
Untuk mengoptimalkan itu, lewat anak usahanya Aerojasa Cargo, perusahaan merilis KirimAja yang merupakan layanan cargo door to door berbasis aplikasi yang dilayani oleh armada Garuda Indonesia dan Citilink.
KirimAja menggunakan konsep bisnis berbasis komunitas, membuka kesempatan masyarakat menjadi agen Sohib KirimAja. Sebagai agen, mereka bertugas menerima paket dari pengirim sebelum diteruskan kepada kurir.
Kurir ini bertugas melakukan penjemputan paket ke lokasi pick up dan drop point dan mengantarkannya ke penerima akhir. Di dalam aplikasi tersebut, pengirim dapat melacak status pengiriman secara real-time.
Strategi Lion Air
Situasi bisnis Lion Air Group tak jauh berbeda dengan maskapai lain pada umumnya. Namun mereka terbantu kinerja anak usahanya yang bergerak di bidang logistik, Lion Parcel, yang dirintis sejak 2013. Lion Parcel bertindak sebagai perusahaan logistik last mile, bertarung dengan pemain sejenisnya di Indonesia.
CEO Lion Parcel Farian Kirana mengklaim kinerja perusahaan terus tumbuh secara eksponensial hingga pandemi berlangsung. Memasuki awal tahun ini, pengiriman paket dan dokumen melonjak di angka 90-100 ton per harinya. Bahkan saat penerapan PSBB, Lion Parcel mencatatkan pertumbuhan jumlah paket sebesar 17%.
Selama periode tersebut, barang yang sering dikirimkan adalah pakaian, masker, dan alat kesehatan. Kota asal dengan pengiriman terbanyak datang dari Jakarta, Medan, dan Tangerang; sementara untuk kota tujuan pengiriman adalah Jakarta, Makassar, dan Medan. Sayangnya, dia enggan membeberkan kontribusi Lion Parcel terhadap bisnis grup.
“Kami pun sudah bekerja sama erat dengan berbagai [pemain] e-commerce di Indonesia seperti Tokopedia dan Bukalapak, sehingga pengiriman kami dapat melayani penjual dan pelanggan yang bertransaksi di [platform] e-commerce,” terang Farian.
Karena Lion Parcel menjadi anak usaha Lion Air Group, maka mereka bisa memanfaatkan aset pesawat sebagai armada pengiriman lewat udara. Dia mengatakan, Lion Air memiliki 283 pesawat dan konektivitas darat yang dikelola oleh mitra perusahaan tersebar di 188 kota. Hal tersebut mencakup 1.000 mitra kurir virtual Point of Sales (POS) dan 7.000 POS.
Inovasi teranyar yang perusahaan kembangkan dengan memanfaatkan aset grup adalah Onepack, layanan next day delivery dengan success rate mencapai 95%. Layanan ini memanfaatkan jaringan penerbangan Lion Air Group dari barat sampai ke timur, termasuk rute-rute perintis yang dioperasikan Wings Air dengna jadwal penerbangan lebih pasti.
“Dalam tahap awal, konsumen bisa menikmati layanan ini untuk pengiriman barang dari Jakarta ke 28 kota dari 18 kota ke Jakarta. Diluncurkannya kembali produk ini merupakan jawaban kami untuk memberikan layanan dan solusi terbaik yang sesuai dengan kondisi di masa pandemi saat ini.”
Perkembangan teknologi yang dihadirkan Lion Parcel berupa aplikasi yang dilengkapi fitur pick up request, drop off, live tracking, dan cek tarif. Dari fitur pick up request, konsumen tidak perlu keluar rumah karena kurir akan mendatangi lokasi pembeli untuk menjemput paketnya.
“Kami menjalankan kemitraan dengan model low asset model sehingga lebih fleksibel memudahkan peningkatan skalabilitas bisnis, seperti penambahan jumlah kurir, mitra POS, dan pembukaan destinasi baru yang dikelola konsolidator. Model ini dapat menciptakan kesempatan baru economy sharing,” tutup Farian.
Tren aviasi global
Langkah yang diambil maskapai di atas mencerminkan kondisi global. Mengutip laporan The Load Star, bisnis pengangkutan penumpang turun hingga 74% secara year-on-year pada April 2020. Di Amerika Serikat saja, pada bulan yang sama, bisnis ini turun hingga 94%.
Maskapai asal Inggris Virgin Atlantic misalnya, menambah penerbangan kargo lebih dari sepertiga menjadi 600 selama Juni, lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Lalu maskapai dari Finlandia, Finnair yang menambah kapasitas kargo dengan mengeluarkan kursi kelas ekonomi dari kabin di dua unit Airbus A330-nya. Hal yang sama juga dilakukan maskapai besar lainnya, seperti British Airways, Lufthansa, Emirates, dan United.
Dampak pivotnya maskapai adalah kebutuhan moderinisasi kargo dengan sistem IT terkini. American Airlines disebutkan menangguhkan sebagian besar proyek IT-nya selama pandemi, kecuali divisi kargo yang direorganisasi. Sistem IT di divisi tersebut dimodernisasi secara maksimal untuk mengurangi hambatan yang awalnya membutuhkan 100 dokumen digital, kini hanya 10 saja.
AirAsia juga mendigitalkan jaringan kargo udara berbasis blockchain, yang disebut Freightchain. Layanan ini menawarkan jaringan digital untuk mengonfirmasi dan melacak kargo udara secara transparan berdasarkan teknologi blockchain ledger yang didistribusikan.
Pengirim dapat menemukan semua koneksi jaringan kargo yang tersedia yang dimiliki oleh maskapai penerbangan. Caranya dengan memberi transparansi mengenai bagaimana kargo mereka berpindah dari titik A ke titik B. Sistem ini juga akan memfasilitasi pemesanan berdasarkan permintaan real time menggunakan proses penawaran yang kemudian divalidasi di blockchain.
Freightchain dapat menyederhanakan proses pemesanan sampai konfirmasi 10 kali lebih cepat daripada metode tradisional. Sebelum diresmikan ke publik pada April lalu, Freightchain telah diujicobakan untuk pengiriman kargo berisi obat-obatan dari India ke Mongolia.
Sistem ini memesan rencana perjalanan instan melalui Kuala Lumpur, Malaysia, dan Seoul, Korea Selatan, secara real time melalui penerbangan dengan tiga operator berbeda menggunakan kontrak pintar pada blockchain.
Karena tidak tersedianya penerbangan langsung dari Bengaluru ke Ulan Bator, pengirim harus menemukan secara manual ketersediaan semua penerbangan yang terhubung dan menghubungi banyak agen untuk menyelesaikan tautan di beberapa maskapai.
Dengan Freightchain, semua data koneksi, kontak, dan kontrak ada di dalam blockchain, membuatnya mudah untuk mengidentifikasi tautan, memesan penerbangan, dan mengonfirmasi rencana perjalanan.
Meski pemain maskapai sedang terlunta-lunta, di sisi lain permintaan pesawat kargo tetap ada, terutama datang dari perusahaan e-commerce raksasa. Mengutip The STAT Trade Times, lini kargo udara milik Amazon, Amazon Air, mengungkapkan akan menyewa tambahan 12 unit pesawat Boeing 767-300 yang akan dikonversi menjadi pesawat kargo untuk menangangi kenaikan permintaan transaksi. Amazon Air akan memiliki 80 unit pesawat secara total.
Unit logistik milik Alibaba, Cainiao Smart Logistics Network, mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan jumlah pesawat kargo, dari 260 menjadi 1.260 dalam sembulan bulan mendatang. Durasi pengiriman akan jauh lebih cepat menjadi tiga sampai lima hari untuk pengiriman internasional, dari sebelumnya tujuh sampai 10 hari.
Tantangan di industri
Pengamat logistik sekaligus CEO PowerCommerce.Asia Hadi Kuncoro mengatakan, pergeseran model bisnis di atas terjadi karena perubahan perilaku konsumen yang didorong perkembangan teknologi digital. Kondisi itu telah menggeser area bisnis perdagangan menuju perdagangan direct-to-consumer (e-commerce).
“Maka sangat wajar ketika pemain industri melihat ini sebagai peluang yang mengakibatkan para pelaku maskapai penerbangan pun melakukan ekstensi bisnis ke ranah hilir sebagai penyedia last mile,” kata Hadi.
Kendati demikian, bertambahnya pemain ini tentu semakin memberikan tekanan persaingan yang tinggi diantara pelaku industri. Namun dalam kapasitas peluang, Indonesia ini sangat besar jadi masih sangat wajar.
“Konsumer akan semakin diberikan keuntungan dengan banyaknya pilihan dan harga yang kompetitif. Yang harus dijaga adalah bagi pelaku yang menguasai dari hulu ke hilir seperti para maskapai ini wajib dipantau oleh pemerintah dalam hal penguasaan monopolistis dalam bisnis e-logstics ini.”
Dia melanjutkan, saat ini infrastruktur jalan tol berkembang pesat, menyambung Pulau Jawa dan Sumatera. Oleh karenanya, pergeseran e-logistics kini menjadi sangat optimal di distribusi darat melalui tol untuk kota-kota besar di kedua pulau tersebut.
“Peluang terbesar untuk kargo udara dari para maskapai penerbangan ini adalah berfokus pada distribusi destinasi ke luar Jawa. Bahkan dalam jangka panjang seharusnya pemerintah dan pelaku Industri penerbangan mulai berfikir mengkoneksikan negara-negara ASEAN.”
Dia melanjutkan, “Koneksi ASEAN akan membuka peluang. Tidak hanya menggunakan fasilitas pesawat komersial penumpang, namun juga pengoperasian pesawat kargo (freighter cargo) ke beberapa destinasi gemuk luar jawa dan negara-negara ASEAN.”
Mendukung pernyataan Hadi, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita memaparkan, secara umum pemain logistik belum menjadikan pengiriman lewat udara menjadi pilihan utama. Pertimbangan utamanya adalah harga yang berbanding jauh dibandingkan dengan armada laut.
“Pengiriman kargo lewat udara untuk pengiriman keluar Jawa masih sangat sedikit dibandingkan laut. [kisarannya] Hanya 7%-10% dari kargo laut karena memang harga kargo udara kan sangat berbeda jauh,” ucapnya.
Sementara pengiriman antar kota di dalam Jawa yang cenderung lebih banyak menggunakan jalur darat daripada udara sejak kehadiran jalur tol Trans Jawa. Terlebih selama pandemi ini jalur udara belum banyak jadwal yang tersedia.
“Padahal untuk pemain logistik ekspres, kargo udara adalah pilihan utama karena butuh cepat. Tapi untuk tujuan pengiriman di dalam Jawa sudah mulai beralih ke darat selama pandemi ini.”
Kendati begitu, ramainya maskapai yang terjun ke bisnis kargo patut ia apresiasi. Biaya kargo udara bisa saling berkompetisi memberikan harga terbaik. Bagi industri, ketergantungan terhadap kargo udara sangat tinggi terutama saat menjangkau pengiriman ke kota-kota di luar Jawa yang memang pilihan paling efisien hanya lewat udara.
Dari pengamatan Zaldy, selama pandemi ini harga pengiriman yang ditawarkan maskapai penerbangan relatif sama dengan kargo udara [pesawat kargo]. Dengan catatan, ada beberapa rute yang turun tapi penurunannya tidak banyak.
“Kita harapkan dengan makin banyaknya maskapai penerbangan menyediakan kargo udara, seharusnya harga bisa lebih turun lagi.”
Menurutnya, apabila perusahaan maskapai bisa fokus pada layanan kargo udara dengan pelayanan terbaik dan harga yang bersaing, hal itu akan membantu ekosistem secara keseluruhan. Jangan sampai maskapai akhirnya tergiur menjadi perusahaan kurir logistik karena itu bukan bisnis utamanya.
Zaldy yang juga menjabat COO Paxel mengatakan, khusus Paxel sendiri sudah menjadi pengguna setia pesawat kargo untuk melayani pengiriman same day. Namun karena pandemi, layanan ini akhirnya harus diubah menjadi next day.
“Sampai sekarang Paxel masih memanfaatkan air cargo untuk [pengiriman] keluar Jawa, tapi layanan same day belum bisa karena jadwal pesawat yang masih tidak pasti [karena pandemi]. Jadinya enggak bisa same day, jadinya next day,” tutupnya.
Sumber :
https://dailysocial-id.cdn.ampproject.org/c/s/dailysocial.id/amp/post/lain-dulu-lain-sekarang-inovasi-teknologi-kargo-dari-maskapai-penerbangan
How COVID-19 Has Changed Consumer Behaviors And The Supply Chains That Serve Them
By Öykü Ilgar, SAP
As COVID-19 continues to affect our lives and forces us to change our daily routines, our shopping habits are evolving. As I look at my monthly bills, most of them are for necessities such as food, and very little is on luxury or discretionary items. According to McKinsey, this “conscious consumption” has been a widely adopted behavior and purchases are mainly centered on basic needs.
Buyers, through necessity, have started to use online shopping. Generations that previously would not have dreamt of buying something online as they have to “feel and touch” something before they buy it, are realizing that the comfort of reaching various goods with one click and picking up the groceries from the front door, has its benefits.
The challenges of a Covid-19 world
All of this of course has had a dramatic impact on the supply chains that service this market.
For the past few months uncertainty about demand, unstable supply and constrained capacity have been the biggest challenge around the globe.
The pandemic has clearly shown us that an effective running supply chain should focus not only the cost factor but also balancing this with managing risk by improving resiliency and agility to cope with such demand and supply disruptions.
As a result, we have seen companies re-design and re-think supply chain processes.
Last Mile Delivery
My monthly bills show that I am ordering 90% of the things I buy on-line. Let’s just walk backwards through the supply chain to see how this shift has affected the processes that make this happen.
As more and more people expect a delivery to their doorstep, the volume and size of shipments have changed considerably. This was highlighted in a recent podcast with Lorcan Sheehan, the founder and CEO of PerformanSC, who discussed how supply chains have been “shocked” by the COVID-19 crisis.
“I think the other big change that we will continue to see is the shift in channels,” said Lorcan. “That has been happening for quite some time. There will be new ways of getting products into consumer hands. There will be new marketplaces that will exist. There will be new ways that consumers can interact more directly with the companies.”
Recently, businesses are more focused on enhancing the last mile capabilities to suit changes while both protecting the customers and the delivery personnel. Contactless delivery has become a buzzword during the crisis, and it is unlikely to disappear in the post- COVID-19 world.
In China, delivery app Meituan Dianping launched a contactless delivery initiative across various districts to send grocery orders by using autonomous vehicles. In Ireland, Manna Aero received a license from the Irish Aviation Authority to do drone deliveries for a restaurant chain in Dublin. If you order your meal using the Camile Thai restaurant app, you can drop a pin where you want the drone to deliver the order by using satellite view of the street. The same drone company pivoted and delivered groceries and medicines to vulnerable people in lockdown.
Pop-up Warehouses
With the extreme fluctuations and changes in customer demand during the crisis, pop-up warehouses have become an ideal solution for rapid order fulfillment. Renting and stocking the warehouses close to the end consumers is the time and cost-effective way to process, especially when there is a peak in demand.
Richard Kirker, Global Solution Lead for Extended Warehouse Management at SAP, explained the scope of Pop-up Warehouses in our supply chain podcast and said “The idea with pop up warehouses is not just to set up temporary warehouses but permanently simple warehouses. It can be extended with as much as functionally you like with the full EWM (Extended Warehouse Management) software.”
Planning and Simulation
What we see as a result of COVID-19 is not only the importance of data, but more importantly the ability to leverage it to generate different scenarios and make more agile decisions across the supply chain.
By using integrated business planning capabilities, businesses can optimize their resource efficiency. They can make use of real time visibility to both supply and demand to perform scenario planning, and inventory optimization strategies.
A great example is the residential market for tissue paper, which exploded because of heavy demand. Isabelle Leclerc, VP at Cascades, discussed the tissue paper industry in one of our supply chain podcast series, mentioning that businesses that usually sell in bulk to institutions are responding to the drop in demand in this market and the increase in the consumer market. Leclerc said “The demand has shifted and changed. The distributers of this market reinvented the model and went online to support the end consumers.”
Leclerc continued “As you know, manufacturing is stable and it is working for 24 hours, we needed more manufacturing capacity within a couple of weeks. Our way of doing that was to rationalize our portfolio and became more efficient in manufacturing, so we can have better outputs.” Cascades, one of the best-known tissue paper manufacturer in North America, chose to move forward with an agile approach to adapt market changes in the right time
Alternate Sourcing Strategies
Another tip coming from Leclerc, VP at Cascades. “Diverse sourcing and digitization will be the key to build stronger, smarter supply chains.” When the crisis knocks on the door, businesses need to figure out how to quickly find alternate sourcing strategies. What if something happens to a manufacturing plant or country? What is the level of inventory needed, and where should it be? And many more questions.
End-to-End Visibility
Founder and president of global logistics research and consulting firm Logistics Trends & Insights, Cathy Roberson remarks on the importance of supply chain transparency and agility in our coronavirus themed podcast. Roberson points out that “Businesses need to monitor the environment. To understand and adapt to the changes in the markets and mitigating the possible risks internally, players needs to understand what is going on in the environment”.
Employee Safety
Crises also lead businesses to invest more in improving their environment, health and safety operations. Businesses which have an ability to monitor the full picture of the potential risks within the factory can give agile responses and mitigate the possible risks.
What we also saw with COVID-19 is that manufacturing companies with high levels of automation did not have as many productivity issues as the more labor-intensive ones that were affected by physical distancing.
To reduce the financial impact and many other economic challenges of the crisis, manufacturers realized the importance of investing more in automation and transforming manufacturing processes with Industry 4.0.
The pandemic has changed how we think of, and leverage supply chains moving forward.
As we change the way we shop, dine and entertain ourselves, supply chains must evolve to create the future we need in these unprecedented times.
The next time you click to order, think of the complex supply chain that delivers on that digital promise.
To find out the latest trends, check out The Digital Supply Chain podcast, a twice weekly show hosted by SAP Innovation Evangelist Tom Raftery, discussing thought leadership, best practices, and the latest innovations in delivering a sustainable supply.
Sumber :
https://www.forbes.com/sites/sap/2020/07/28/how-covid-19-has-changed-consumer-behaviors-and-the-supply-chains-that-serve-them/#62362f1f150f
Tuesday, July 14, 2020
Biaya Logistik Mahal, Potensi Laut di Indonesia Timur Sulit Digeber
Industri perikanan di Indonesia Timur memegang peran penting bagi perikanan Indonesia. Sekitar 60% sumberdaya ikan ada di perairan Indonesia Timur. Selain itu, perikanan skala kecil mendominasi usaha perikanan di wilayah ini, koperasi telah memberikan peran penting bagi pemberdayaan perikanan skala kecil.
Untuk itu, wilayah Indonesia Timur memiliki posisi strategis untuk pengembangan perikanan skala kecil, dengan penguatan sosial ekonomi menjadi fokus penting.
Ketua FK2PT Agus Suherman mengatakan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) khususnya 714 Laut Banda sampai 718 Samudera Pasifik telah dikenal sebagai lumbung tuna khususnya cakalang dan tuna sirip kuning (yellowfin).
Perikanan skala kecil khususnya di wilayah timur juga sangat didukung adanya keberadaan koperasi perikanan sebagai wujud dari ekonomi yang berpihak kepada masyarakat.
Namun di sisi lain, Agus mengutarakan terdapat salah satu kelemahan daya saing dari produk perikanan Indonesia dari wilayah timur, yaitu masalah biaya logistik yang masih tinggi.
"Upaya-upaya sinergitas BUMN dan koperasi perikanan perlu dicarikan solusi. Bisa jadi, pemerintah dapat menugaskan, misalnya BUMN Cluster Pangan seperti Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) membuka simpul-simpul jalur distribusi produk perikanan melalui tol laut perikanan," usul Agus.
Sumber:
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5094255/biaya-logistik-mahal-potensi-laut-di-indonesia-timur-sulit-digeber/2
Friday, July 3, 2020
Ekosistem Logistik Nasional, ALFI: Perlu Ada Inovasi
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengharapkan keseriusan pemerintah dalam penataan ekosistem logistik nasional dengan menerbitkan sejumlah regulasi turunan dapat memunculkan inovasi dan pemulihan ekonomi di bidang manufaktur, logistik, dan pelayaran serta jasa lainnya yang terdampak di masa pandemi.
Ketua DPP ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi, mengatakan sektor-sektor tersebut dapat lebih terakselerasi dengan adanya simplifikasi proses melalui platform digital. Selain itu, sistem ini seharusnya memudahkan para pemangku kepentingan untuk saling berkolaborasi agar efisiensi dan transparansi di bidang logistik bisa tercapai.
“Kami berharap perusahaan pergudangan, depo, dan platform-platform logistik karya anak bangsa mendapatkan kesempatan lebih untuk saling berkolaborasi dan terintegrasi dengan kementerian dan lembaga, sehingga terciptanya saling sinergi antara pemerintah dan swasta,” jelasnya melalui keterangan resmi, Jumat (3/7/2020).
ALFI, lanjutnya, juga mengapresiasi, terbitnya Inpres No. 5/2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional dan Permenhub No. 42/2020 tentang tentang Pelayanan Pengiriman Pesanan secara Elektronik (delivery order online) untuk Barang Impor di Pelabuhan dan selanjutnya akan mengawal implementasinya.
Dia menjelaskan Inpres No. 5/2020 mencakup menyederhanakan proses pemeriksaan barang, mempermudah akses layanan logistik melalui kolaborasi sistem ekspor dan impor dengan kementerian dan lembaga terkait serta penerapan sistem manajemen risiko yang terintegrasi dengan kementerian dan lembaga terkait.
Selain itu terdapat peningkatan efisiensi proses logistik dengan kolaborasi system sektor transportasi, sektor pelayaran, sektor pelabuhan, sektor pergudangan, sektor depo peti kemas, dan menyederhanakan proses bisnis pembayaran penerimaan negara.
Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200703/98/1261229/ekosistem-logistik-nasional-alfi-perlu-ada-inovasi
Related Posts
-
Kita harus bisa membedakan antara Konsep Logistik (Makro) dan Eksekusi Logistik (Mikro), sering kali kita terjebak disini. Melakukan analisa...
-
Beberapa bisnis berurusan dengan logistik sendiri, menggunakan penyedia lainnya. Semakin banyak entitas sekarang memberikan layanan seperti ...
-
Lain Dulu Lain Sekarang, Inovasi Teknologi Kargo dari Maskapai Penerbangan 28 July 2020 Perusahaan maskapai kini beradu di ranah logis...
-
How Amazon Is Changing Supply Chain Management Kembali pada tahun 2005, Amazon meluncurkan layanan Amazon Prime-nya. Pelanggan, memba...
-
Wilda Fajriah, Jurnalis · Kamis 19 Desember 2019 19:36 WIB JAKARTA - Sebagai tindak lanjut lima prioritas Presiden Republik Indonesia ya...